Menepi Menuju Tengah

PROLOG 

"Gimana kalau kita rayain kenaikan kelas plus ulang tahunku itu mendaki gunung brumo bersama?" Ucap seorang remaja yang baru saja menginjak umur 17 itu kepada 3 orang temannya. 

"Gas lah, kita mulai libur dari besok kan? Kapan ni?" Jawab satu gadis dengan kuncir kuda nan bernama Fellora. 

"Besok ngga si? Makin cepat makin asiik cuii." Balas lelaki dengan dasi abal aballan, khas dari dirinya-ia Kiendra. 

"Nah pas banget coo, besok bokap lu mau pergi pendakian kan? Kita ikut tim bokap lu bae." Kiendra kembali mengeluarkan suara. 

"Lah iye, gue baru ingat bole tuh. Bokap gue masi 6 orang, pas 10 orang ama kitee cuii." Akhirnya Aruna mengeluarkan suaranya yang sedari tadi diam mendengar temannya. 

"NAHH SIIP, KITA NGINAP RUMAH ARUNA AJA MALEM NII." Ucap Fellora dengan antusias. 

seiring dengan jalannya waktu, tak terasa langit sudah kelabu. Empat remaja terlihat sedang bercerita di sofa sambil melihat acara tv, Defano, Aruna, Kiendra dan Fellora, pertanda lampu hijau, mreka semua diperbolehkan ortunya buat ikut ke gunung brumo. 
Sepulang skolah mreka smua sudah cukup istirahat, jadi no problem jika perjalanan mulai dari jam 4 pagi, slagi kini masi jam 00.00 mreka masi punya waktu untuk menunggu ayah Aruna, ya mreka udah slesai dengan urusan bawaan mreka. 

"Kata bokap lu jam 4 kan kita jalan?" Defano memecahkan keheningan, netranya beralih kepada Aruna, pertanda jika ia menunggu jawaban. 

"Yoi, tapi kita ke pos satu jam 1, soalnya dari sini ke pos satu butuh 3 jam-an." Aruna membalas sambil memakan coklat yang ada ditangannya kini. 

"Anak anak, keknya kita bakal brangkat lagii, bawaan kalian udah siap semua kan? masuk mobil langsung ya, ayah tunggu, udah ditunggu sama yang lain juga di pos satu." Celetukan ayah Aruna yang datang dari luar, dan dibalas anggukan oleh keempat remaja didepannya kini. 

Benar saja, sudah tiga jam perjalanan mreka dari rumah Aruna, baru terlihat sekumpulan orang dengan ootd para pendaki pada umumnya. Dengan segera ayah Aruna memarkirkan mobilnya didekat pos itu, sudah terlihat semua orang siap untuk menempuh perjalanan yang jauh. 

"Oke? Smua siap ya? yang semangatt!" Ucap ayah Aruna setelah memberi sedikit aba aba atau penjelasan, sebelum akhirnya melakukan perjalanan dengan semangat. 
 

┈ ᅠ⸼ ׄ 1. Pos Dua ׄ ⸼ᅠ┈
ᅠ⸼ ────꯭─꯭ֿ─ ᅠ❲Ⱉ❳ ᅠ─꯭ֿ─꯭──── ⸼

Setelah sedikit berdiskusi dan memberi arahan, semuanya siap untuk memulai perjalanan. Ayah Aruna memimpin jalanan di depan, Defano, Aruna, Kiendra dan Fellora berjalan dibagian belakang, ntah lah mreka ingin berjalan dengan candaan jadi dari pada mengganggu mereka memilih berjalan dibagian belakang. 

"Eh kabar mantan lu gimana Lora?" Celetuk Defano yang berjalan disebelah Kiendra. 

"Lah iye, si Rusdi ye?" Balas Kien yang melirik ke arah Defano. 

"Embahmu Rusdi Kien." Emosi Aruna, sudah jelas itu nama bapaknya mantan Fellora, bukan nama mantannya Fellora. "Lu kira Fellora sama bapak bapak gitu?" Sinisnya kepada Kien. 

"Lah? trus saha coo? Gue lupa suer." Balasnya dengan plongo. 

"ZIO CO, APASI LU KIEN ISH, ITU NAMA BOKAPNYA GILA." Emosi Fellora kepada Kien, bagaimana tidak? Bisa bisanya Kien hanya Ingan nama bokap mantannya itu. 

"Oohh iye, gue lupa cuii." Bisa bisanya ia santai menjawab sambil bersiul, uda dasarnya ngeselinn emang. 

Mendengar itu, Fellora yang berjalan di sebelah Aruna langsung pergi ketempat Kien untuk menonyornya. Sadis banget emang temannya Runa itu, tapi bagaimana tidak coba, orang Fellora masi nyimpan rasa ama tu cowo. Fellora berjalan kembali ke sebelah Runa, dengan senyum bangga yang terpancar di bibirnya. 

"Eh, lo pada ngerasa sesuatu ngga sii?" Aruna menghentikan pergerakan yang lain. 

"apaan? Lo ngerasa tambah capek?" Bener saja, bocah ngeselin spek kien kembali bersuara. 

"Kaga ege." bagaimana mungkin mreka ngga ngerasa apa yang dirasain sama Aruna skarang "Ish, apasi lo beda konsep. Maksud gue ni ye, ada hal ganjen aja cuii." 

"APASI LO KOK NAKUT NAKUTIN SII." Kesal Fellora karna sejak tadi ia hanya biasa saja melewati hujan lebat ini. 

"Kaga suer, gue ngerasain plss, srius aja kalian kaga ngerasa sesuatu?" 

"Kaga." Serentak mreka berempat. "Udah udah, ganti topik, bahas yang lain aja." Timpal Defano. 

"Yeuu, mana gue kehabisan topik lagi." Bingung Aruna sambil berpikir. 

"Eh, kalian ingat trend slowmo manual pas kelas 7 dulu ngga si?" Ucap Kien kembali memecahkaan keheningan dengan seringaian di bibirnya. 

"EH IYA, INGAT NGGA SI? SI DEFANO PERNAH BIKIN ITU!" Balas Fellora dengan susulan gelak tawa dari yang lain. 

"JANGAN DIINGAT BISA NGGA SI?" Emosi Defano serentak, mengapa ia melulu yang jadi sasaran disini. 

"INGAT INGAT! SUMPAH DEH MALU MALUIN!" Ketawa Aruna kembali pecah dalam sesaat. 

"Astaga, udah jangan diingat coo, gue malu suer." Wajah Defano memerah walaupun dalam sesaat ia ikut tertawa. 

"Tapi kan emang trendnya begitu yeuu!" Defano mencoba kembali membela dirinya. 

"Tapi punya lu bikin bengek please." Mereka semua tak henti tertawa bersama. Bagaimana bisa Kien teringat kejadian beberapa tahun itu, ketika mereka masih dimasa alay alaynya. 

Terdengar suara dari semak semak yang menghentikan kegiatan tertawa mereka. Mereka semua spontan melihat kearah semak semak yang bergerak tadi. 

"Lah, itu suara apaan?" Tanya fellora pada teman temannya itu. 

"Heleh, palingan itu juga cuma kucing liar, ngga usah lebay Raa." Ucap Kien dengan tampang tengilnya. 

"Gua capek banget, kaga boong dah." Keluh Defano akhirnya terdengar. 

"PAPA! POS DUA MASIH JAUH?" Tanya Aruna pada sang ayah yang berada di depan. 

"Ngga nak, sedikit lagi kita sampai pos dua." Balas sang ayah tanpa melihat kearah belakang. 

Hembusan nafas lega keluar dari mulut mereka sekawan. Mereka lebih memilih untuk fokus terhadap perjalanan yang akan mereka tempuh. 

Ntah keajaiban dunia dari mana, mereka melihat pembatas pos tak jauh di depan sana. Betapa excitednya mereka melihat tanda yang berada di depan itu. Dengan cepat mereka berlari dengan dengan girang ke depan. 

"WIH! LIHAT ITU! ITU POS DUA KAN?" Teriakan Kien kepada temannya yang masih terlihat loyo. 

"LAH IYA, YOK LAH GAS KESANAA!!" Balas Fellora tak kalah excited dan mengejar Kien kedepan. 

Kien yang pertama sampai di pos dua langsung melesatkan tasnya dan segera menduduki diri. 

"CAPEK BANGET! SAMPAI JUGA YA AKHIRNYA!" Ucap Fellora pada teman temannya yang masih ngos ngosan. 

"EH RA! INI MASIH POS 2 YA, INGAT ADA 8 POS NANTI RA! SADAR RA!" Teriak Kien dengan emosi. 

"YAAHHH!!! MASI 6 POS LAGI DONGG YA?" Kecewa Fellora langsung duduk ditanah. 

"Kalian ngga lapar? Makan sini dulu gih." Ucap ayah Aruna pada anak dan teman teman anaknya yang masih terlihat loyo. 

"KAN KITA BAWA MIE REBUS, BIKIN YOK!" Semangat Defano langsung berlari kearah ransel tempat mereka meletakkan persediaan mie mie rebus itu. 

"Fellora gua titip yaa!" Teriak Kien yang masih setia duduk ditempat. 

"LAH CO! LU KAPAN DATANG KESINI!" Kaget Defano mendapatkan Fellora yang sudah disebelahnya dengan excited menunggu mie keluar dari ransel besar itu. 

"Yaudah ayok, rebus mie nya laper banget ini." Ucap Aruna yang mengandeng tangan Fellora dengan girang. 

"KIEN! Lu mau mie rasa apaan?" Defano menoleh kearah Kien. 

"GUA MIE RASA RAWIT PEDES!" Kien yang masih setia dengan duduknya, aduh kalau dilihat lihat dia duduk seperti itu kesian banget, vibesnya itu kayak orang yang belum makan berbulan bulan. 

"OKEII, SEK GUA REBUS DULU YE!" Balas Defano yang sedang menyeduh 2 cup mie kemasan. 

"Lu berdua mau yang rasa apaan? Sekalian sini gua rebus biar kaga ribet." Ucap Defano yang masih menyeduh dua cup mie untuknya dan Kien. 

"IHH, CABAT GUE TERBAIK DEH, INI PUNYA GUE YAA!" Semangat Aruna langsung memberi cup mie miliknya. 

"Bawa sendiri ye mienye." Defano memberikan kembali cup yang telah berisi air hangat ke tangan Aruna. 

"Punya gue ini Def, sini punya lu atau Kien gue bawain." Fellora memberikan satu cup mie miliknya dan menerima dua cup mie dan langsung meninggalkan Defano sendiri yang sedang menyeduh mie nya. 

"DEFANO! MIE KITA KAN SAMA, YANG INI BUAT GUE AJA YA, LAPER BANGET INI PERUT GUE!" Sorak Fellora kearah Defano yang sedang membawa satu cup mie rasa sumur ayam, dan dibales anggukan oleh Defano. 

Mereka sudah menyantap mie masing masing, dengan sunyi sejauh ini hanya hamparan rerumputan dan juga lagu yang mengiringi makan mereka. 

Kau begitu sempurna 
Di mataku kau begitu indah
Kau buat diriku akan slalu memujamu. 

Janganlah kau tinggalkan diriku 
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa. 

Kau adalah radahku
Kau adalah jantungku 
Kau adalah duniaku lengkapi diriku. 

Lirik lagu yang terus melengkapi kesempurnaan perjalanan yang mereka lewati semenjak pertama kali mpls di masa sekolah menengah pertama. 

"Ngga eskpek ya, kita bisa temanan hampir 5 tahun begini. Padahal awal mpls smp kita saling sinis." Fellora memberikan senyumannya. 

"Iya! Gue ingat banget dulu gue sempat sinis sinis an sama Aruna di kantin karna berebut meja makan. 

"HAHAHA, iya lagi. Waktu itu gue kesal banget oi." Balas Aruna yang masih fokus terhadap mienya. 

"Kita bisa temanan karna apa si dulu itu?" Fellora mencoba mengingat ingat. 

"Selesai mpls waktu pembagian kelas, siapa sangka juga kita bakal sekelas dari kelas 7 sampai tamat, awalnya gua juga shock berat si sekelas sama kalian." Aruna membuka suara untuk bercerita, bagaimana first time mreka temanan. 

"BUKANNYA DEFANO SAMA ARUNA PAS MPLS UDAH DEKAT YA?" Fellora bersorak mengingat ketika masuk kelas, Defano dan Aruna sudah menjadi teman. 

"Iyaa, kan kita teman waktu sd dulu, trus bapaknye Aruna malah bawa dia nge rantau ke Surabaya, apaan banget teman masa kecil gue ilang," Defano mengeluarkan uneg unegnya waktu sedang makan. 

"EH! TAPI SIAPA SANGKA PAS SMP DIA BALIK LAGI KESINI." Defano melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti. 

"Trus, tiba tiba, buk reshta dudukin kita depan belakang berempat waktu mejanya di dempet dua. Gue sama Aruna di pojok belakang terus kalian berdua di depan kami." Jelas Fellora, dimana waktu itu mereka rolling tempat duduk, ketika di waktu itulah mereka mulai dekat satu sama lain. 

"Eh, kalian udah ngga terlalu capek atau masi kecapean?" Tanya ayah Aruna yang mendatangi tempat mereka duduk. 

"Kami udah ngga terlalu capek si yah, kita jalan lagi ayah?" Aruna balik bertanya pada sang ayah. 

"Kalau kalian udah ngga terlalu capek, kita jalan sekarang aja Na." 

"Yaudah om! Kita sekarang aja lanjut jalannya, biar cepatt sampaii." Balas Defano dengan excited. 

"Kita mulai jalan ya, bersih bersih dulu, sampahnya jangan dibuang disini, disimpan dalam plastik dulu ya." Jelas ayah Aruna kepada yang lain. 

Mereka kembali kepada kesibukan masing masing, membersihkan sampah sisa makanan tadi. Aruna dan Defano bagian membersihkan tempat mereka duduk, sedangkan Kien dan Fellora bagian menyimpan sampah itu. 

"Eh, sampah kita cuma segini doang, taro disini aja ngga si Ra?" Tanya Kien yang melihat lihat sampah sisa makanan mereka tadi. 

"Lah, kata om Yudas kan disimpan dulu Kien, emangnya gapapa kalau misalkan kita taro disini aja?" 

"Nah itu, soalnya beneran sedikit banget. Keknya gapapa deh." Kien menunduk meletakkan satu kantong plastik. 

"Yaudah, kalo gitu yok balik lagi ketempat yang lain." Ajak Fellora berjalan kearah yang lain. 

"Udah aman kan semuanya?" Yudas memastikan sebelum mereka melanjutkan perjalannya. 

Setelah beberapa saat beristirahat dan makan di Pos 2, energi mereka kembali terisi, tetapi perjalanan menuju Pos 3 masih panjang. Jalanan yang mereka lalui mulai menanjak dengan sedikit becek karena hujan sebelumnya. Terkadang mereka harus melangkah hati-hati agar tidak tergelincir.

"Yuk, teman-teman, kita lanjut lagi!" seru Aruna dengan semangat, berdiri dan mengangkat ranselnya. "Meskipun jalanan susah, kita pasti bisa!"

Yudas, ayah Aruna, yang sebelumnya sudah memimpin perjalanan, mengangguk setuju. "Jalan ke Pos 3 cukup panjang. Tapi kalau kita tetap kompak, pasti bisa."

Mereka semua mengangguk, menyemangati diri sendiri dan satu sama lain. Kaki mereka mulai melangkah lagi, melewati jalur yang semakin curam. Defano yang biasanya penuh canda kini tampak serius, sesekali tersenyum melihat semangat teman-temannya.

"Capek juga ya, ternyata jalannya agak terjal," kata Kien yang berjalan di samping Fellora.

"Iya, nggak nyangka seberat ini. Tapi, kita bisa!" jawab Fellora sambil tersenyum, berusaha menenangkan Kien yang sedikit kelelahan.

Aruna yang berjalan di depan mencoba tetap menjaga tempo. "Jangan lupa, kita masih punya banyak waktu. Santai aja, jangan dipaksain."

"Tapi tetap aja ya, capeknya tuh langsung terasa kalau jalan terus begini," ujar Defano yang berjalan di belakang. "Tapi yaudah deh, mumpung udah sampai sini, nggak mau nyerah."

"Kita harus semangat!" seru Fellora dengan suara ceria. "Kalian pasti bisa!"

Mereka terus berjalan, langkah demi langkah, melewati jalanan yang semakin menanjak. Hujan yang tadi sempat reda kini mulai kembali rintiknya. Langit yang gelap semakin menambah kesan misterius perjalanan ini.

Beberapa kali mereka berhenti untuk mengambil napas, tapi semangat mereka tetap tinggi. "Pos 3 udah makin dekat, kan?" tanya Kien dengan nada penasaran, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa lelah.

"Betul, tinggal sedikit lagi!" jawab Yudas sambil melihat ke depan. "Tapi kita harus tetap hati-hati, jalannya makin licin."
Setelah beberapa saat beristirahat dan makan di Pos 2, energi mereka kembali terisi, tetapi perjalanan menuju Pos 3 masih panjang. Jalanan yang mereka lalui mulai menanjak dengan sedikit becek karena hujan sebelumnya. Terkadang mereka harus melangkah hati-hati agar tidak tergelincir.

"Yuk, teman-teman, kita lanjut lagi!" seru Aruna dengan semangat, berdiri dan mengangkat ranselnya. "Meskipun jalanan susah, kita pasti bisa!"

Yudas, ayah Aruna, yang sebelumnya sudah memimpin perjalanan, mengangguk setuju. "Jalan ke Pos 3 cukup panjang. Tapi kalau kita tetap kompak, pasti bisa."

Mereka semua mengangguk, menyemangati diri sendiri dan satu sama lain. Kaki mereka mulai melangkah lagi, melewati jalur yang semakin curam. Defano yang biasanya penuh canda kini tampak serius, sesekali tersenyum melihat semangat teman-temannya.

"Capek juga ya, ternyata jalannya agak terjal," kata Kien yang berjalan di samping Fellora.

"Iya, nggak nyangka seberat ini. Tapi, kita bisa!" jawab Fellora sambil tersenyum, berusaha menenangkan Kien yang sedikit kelelahan.

Aruna yang berjalan di depan mencoba tetap menjaga tempo. "Jangan lupa, kita masih punya banyak waktu. Santai aja, jangan dipaksain."

"Tapi tetap aja ya, capeknya tuh langsung terasa kalau jalan terus begini," ujar Defano yang berjalan di belakang. "Tapi yaudah deh, mumpung udah sampai sini, nggak mau nyerah."

"Kita harus semangat!" seru Fellora dengan suara ceria. "Kalian pasti bisa!"

Mereka terus berjalan, langkah demi langkah, melewati jalanan yang semakin menanjak. Hujan yang tadi sempat reda kini mulai kembali rintiknya. Langit yang gelap semakin menambah kesan misterius perjalanan ini.

Beberapa kali mereka berhenti untuk mengambil napas, tapi semangat mereka tetap tinggi. "Pos 3 udah makin dekat, kan?" tanya Kien dengan nada penasaran, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa lelah.

"Betul, tinggal sedikit lagi!" jawab Yudas sambil melihat ke depan. "Tapi kita harus tetap hati-hati, jalannya makin licin."

"Eh, kok bulu kuduk gue merinding ya lama lama." Fellora memegang tangan Aruna yang berada disebelahnya. 

"Ngga dikit kok Ra." Balas Kien dengan santainya. 

"Bukan gitu maksud gue please." 


┈ ᅠ⸼ ׄ 2. Pos Tiga ׄ ⸼ᅠ┈
ᅠ⸼ ────꯭─꯭ֿ─ ᅠ❲Ⱉ❳ ᅠ─꯭ֿ─꯭──── ⸼

"Bukan gitu maksud gue please." Keluh Fellora dengan suara kecil sambil mengelus tangannya. 

"Udah Ra, gapapa ada gue kok." Ujar Aruna menenangkan Fellora. 

Dengan perasaan tidak nyaman Fellora melanjutkan jalannya, sambil memegang bajunya kuat. 

"Tambah lama jadi tambah serem ya vibesnya." Kien mulai overthinking dengan perasaannya. 

"Jangan jangan lu ketempelan tuyul kayak Fellora juga nih." Jawab Defano menahan tawanya. 

Bagaimana bisa, Kien yang dari tadu mengejek Fellora karna merasa khawatir sekarang malah ikutan merasa khawatir, Kien Kien. Pikir Defano sambil menggeleng gelengkan kepalanya. 

"Eh sampah tadi beneran udah kalian simpan kan, Ra? Kien?" Tanya Aruna menolehkan pandangannya kearah kedua temannya secara bergantian.

"Udah kok Na, aman itu." Balasan Kien tanpa melihat kearah Aruna. 

"Okedeh, takutnya kalian tinggalin sampahnya disana. Soalnya kata ayah gitu lah know aja." Aruna bernafas lega mendengar jawaban dari Kien, jika sampah itu ditinggal disana, bagaimana nasib mreka kedepannya mungkin akan diganggu tuyul seperti Kien katakan? haduhh.

Mungkin dari raut wajah Aruna, itulah yang dapat disimpulkan, berpikir dan menggeleng seketika. "Amit amit!" ucapnya tipis. 

Kien yang sempat melontarkan candaan, kini diam. Entah kenapa, ketegangan di udara semakin terasa, dan dia mulai merasa bersalah telah mengabaikan perasaan Fellora. Defano yang tadinya asik tertawa, kini mulai merasakan adanya yang tak beres. Mereka semua mulai menyadari, mungkin mereka benar-benar sedang diperhatikan oleh sepasang mata lain.

"Na, lu yakin nggak ada yang aneh?" tanya Kien dengan suara cemas, menyadari betapa anehnya perasaan ini. "Gue ngerasa kayak ada yang ngikutin."

Aruna menoleh ke belakang, mencoba melihat ke arah yang disebut Kien, namun hutan hanya tampak gelap dan kosong. "Apa maksudnya ngikutin? Gak ada apa-apa kok."

Namun, ketegangan tetap terasa. Langkah mereka semakin berat, dan udara semakin terasa lembab dan dingin. Tidak ada suara burung malam atau binatang lainnya. Hanya keheningan yang mencekam.

Fellora tiba-tiba berhenti, menoleh ke arah temannya dengan mata yang membesar. "Ada sesuatu di sana..." ucapnya pelan, menunjuk ke arah pohon besar yang terletak beberapa meter dari mereka.

Aruna, Kien, dan Defano menoleh serentak. Mereka hanya melihat bayangan hitam bergerak pelan di balik pepohonan. Suasana hening yang penuh ketegangan membuat napas mereka semakin berat.

Dengan langkah berat, mereka tetap mencoba untuk melanjutkan perjalanan entah apa yang ada dibalik pepohonan besar itu. 

Srkk srkkk! 

Ranting pohon itu bergoyang, seperti ada tangan yang menggoyangkan. Dengan suara kecil, Defano memberi aba aba untuk tetap diam. "Tetap jalan seperti tadi, jangan ada yang panik, kita ngga tau itu apaan." 

"Kalau itu beruang kita lari kearah om Yudas aja ya?" Kien menunduk enggan untuk menoleh kearah pepohonan besar itu. 

"Kwuk Kwuk Kwuk!" 

"LAH ITU CUMA SUARA BURUNG HANTU DOANG. YEU!" Teriak Kien, hingga membuat semua orang didepan menoleh. 

"Kalian dibelakang aman kan nak?" Tanya salah satu wanita kepada mereka. 

"Hehe, aman kok Buk!" Aruna menjawab dengan suara ceria, seakan akan segala ketegangan itu hilang begitu saja.

"Eh, gila lo, Na. Itu suara orang biasa aja, lo malah jawab kayak lagi di acara talkshow," canda Defano, menyikut Aruna.

Aruna cuma nyengir. "Apa salahnya senyum sedikit, Def? Biar ga pada tegang!"

Mereka semua melanjutkan perjalanan, langkah mereka terasa lebih ringan setelah tawa itu. Suasana di hutan pun seakan kembali normal, meskipun sedikit lebih gelap dari sebelumnya.

Fellora tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang dengan ekspresi serius. "Tapi beneran deh, gue ngerasa kayak ada yang ngikutin..."

Semua langsung menoleh ke Kien dengan pandangan bingung.

"Lu lagi?" kata Defano sambil tertawa. "Lora, jangan bikin suasana mencekam kayak film horor dah, demen aman keliatannya."

"Udah, jangan terlalu dipikirin," ucal Aruna sambil melangkah lebih cepat. "Yang penting kita jalan bareng, nggak ada yang ditinggalin."

Mereka kembali berjalan sambil ngobrol dan sesekali tertawa, melupakan semua ketegangan tadi. Meskipun hutan masih gelap dan sunyi, mereka tahu satu hal: bersama teman-teman, semuanya jadi lebih ringan.

"Na, Kien, Def... lo yakin nggak ada yang aneh kan?" tanya Fellora, kali ini dengan wajah serius tapi masih ada sedikit senyum di bibirnya.

"Tenang aja, Ra. Kita udah kayak power ranggers. Nggak ada yang bisa ganggu kita," jawab Defano sambil menyeringai.

"OH OH, GUA RANGGERS YELLOW!" Teriak Aruna Dnegan antusias mendengar kata kata penyemangat Defano barusan. 

"Gua sih ranggers biru ye!" Kien langsung mendorong bahu Defano. 

"Iye iye! Gue ranggers merah! Ranggers paling ganteng!" Balas Defano dengan terbahak bahak. 

Mereka pun terus melangkah, sambil bercanda, membuat suasana hutan yang semula tegang menjadi lebih ceria. Sungguh, tidak ada yang lebih baik daripada bisa menghadapi segala ketegangan dengan teman-teman di sisi.

"Eh, lo lihat nggak sih?" tanya Kien, mencoba menahan tawa. "Tadi kayaknya itu cuma pocong yang lagi buru-buru, deh."

Defano tertawa terbahak-bahak. "Iya, iya! Mungkin dia kejar deadline juga! Pasti ada rapat penting di dunia per pocian," jawabnya sambil menyikut Fellora, yang tampak masih cemas.

Fellora memutar mata, tapi sepertinya sedikit terhibur. "Serius, lo semua emang dasarnya pada udah ngga waras. Ngomongin pocong kayak anak sd lagi bahas komedi di siaran TV."

Aruna, yang dari tadi diam, malah ikut-ikutan tertawa. "Iya, ya. Mungkin dia cuman nyari temen buat ngobrol. Kayak kita aja, jalan bareng, ngobrol terus."

Kien sejenak tampak berfikir sebelum menyambat, "Lah, berarti dia iri dong sama pertemanan kita yang imup inii?" Ucapnya sambil menahan tawa. 

"Iya dung, kan kita imup bangett, humm!" Balas Aruna yang diikuti oleh gelak tawa temannya. 

"Makanya, kita harus lebih ramah, biar dia nggak ngilang gitu aja," Kien menambahkan, masih dengan ekspresi serius yang nggak bisa menahan senyum.

Fellora akhirnya ikut tertawa, meskipun dia tetap waspada. "Yaudah, kalau dia mau ngobrol, kasih aja nomor HP kita. Biar bisa chat, nggak usah nongol-nongol tiba-tiba kayak gitu."

Semua tertawa lagi, dan seketika suasana yang tadi tegang berubah menjadi penuh canda.

"Serius deh, kalau ada yang ngikutin kita, gua cabut duluan!" Kien menambahkan sambil melangkah cepat, namun ekspresinya masih terlihat santai.

"Cabut? Ke mana? Ngumpet di belakang om Yudas? Hahaha!" kata Fellora sambil tertawa.

"Lo aja yang sembunyi, Kien! Paling kalau dia dateng, lo yang ngajak ngobrol duluan," ujar Defano sambil bercanda.

Mereka terus berjalan dengan tawa dan candaan, melupakan rasa khawatir yang sempat menghantui mereka. Bahkan Fellora, yang sempat merasa cemas, akhirnya merasa lebih ringan. Hutan yang gelap pun terasa lebih cerah, meskipun hanya karena canda tawa mereka yang terus mengalir.

"Tapi, serius, Kien," kata Defano, masih dengan senyum lebar, "Lo jangan ajak ngobrol kalau ada 'teman baru' di hutan. Kita nggak bawa WiFi buat ngobrol."

Fellora menyengir lebar. "Santai aja, De. Pokoknya kalau ada yang ngajak ngobrol, kita tawarin sedih mie rebus dulu. Siapa tahu dia cuma butuh temen ngobrol sambil makan yang anget anget."

"Isi kepala lo mah mie melulu Ra! Keknya lo kalau duduk berduaan sama harimau, selagi ada mie rebus lo aman aja deh." Kien menertawakan Fellora, bagaimana mungkin, dia yang sedari tadi panik sekarang malah memikirkan mie rebus, makanan wajib ketika mreka berkumpul. 

Aruna tertawa, sambil melanjutkan ucapan Fellora tadi. "Iya, kan? Mungkin dia cuma bingung nyari jalan pulang."

Dengan canda dan tawa yang terus berlanjut, mereka melangkah lebih jauh ke dalam hutan, meski cahaya bulan semakin memudar. Mereka tahu satu hal: dalam kebersamaan, bahkan hutan yang paling menakutkan pun bisa jadi tempat yang menyenangkan.

Mereka melanjutkan perjalanan, kaki mereka melangkah mantap di jalur setapak yang semakin menanjak. Hutan sekitar mereka semakin sepi, hanya terdengar suara langkah kaki dan sesekali burung yang terbang rendah. Tapi, suasana yang semula menegangkan kini berubah menjadi penuh canda.

Aruna, yang berjalan di depan, menoleh ke belakang. "Eh, kalian pada denger nggak sih? Ada suara air," katanya sambil menunjuk ke arah kanan, tempat ada sedikit gemericik suara yang datang dari jurang.

Kien yang berjalan di sampingnya mendengus, "Hah, suara air? Itu cuma suara perut gue aja yang udah lapar. Pagi pagi kemaren makan nasi goreng, tadi siang makan mie rebus, sekarang rasanya gua bisa denger 'panggilan' mie rebus dari dalam perut gua."

Defano yang berjalan sedikit lebih belakang ikut tertawa. "Bener juga, ya. Dengerin suara perut orang lebih sering daripada dengerin suara alam bicara." Dia sengaja mengejek Kien dan Fellora, yang dari tadi sudah berkali kali menyebut nyebut mie rebus, rasanya Defano gumoh mendengar, sepertinya temannya ini sudah gila akan mie rebu.

Defano yang dari tadi menggeleng geleng melihat temannya, tiba-tiba mengangkat tangan seolah memimpin sebuah orkestra. "Tapi serius, kita udah jalan jauh banget, loh. Rasanya Pos 3 itu udah kayak mimpi, deh, rasanya kayak ilustrasi waktu kita kehausan dipadang pasir, terus ngeliat ada kolam renang," ucapnya sambil tertawa. "Cuma, kalau ada yang mulai 'kehilangan' semangat, gue siap jadi pelatih, jadi motivator beneran deh, kasi kalian semangat semangat."

Fellora memutar bola matanya. "Lo jadi motivator? Gak kebayang deh. Pasti motivasi lo cuma kayak gini: 'Ayo, ayo, semangat! Sebentar lagi makanan enak menanti di depan!"

Kien langsung ikut bergabung, dengan gaya dramatis, "Betul! betul! betul! Tapi tenang, kalau lo capek, bisa minta dukungan psikologis dari gue! Gue siap jadi pelatih mental."

Aruna menyeringai, "Gue sih lebih percaya kalau kita sampai Pos 3, langsung 'peluk' mie rebus dan cemilan apalagi coklat, terus baru deh mulai mikirin mental."

Defano menanggapi dengan antusias, "Nah, itu baru ide cemerlang! Kalau mental kita udah rapuh, mending langsung tebar mie rebus dan coklat panas! Mental akan langsung ter-refresh."

"Makanan itu emang obat terbaik de!" Sambung Kien lebih antusias.

"Lo tuh keknya, ya, satu satunya yang bisa diselamatkan cuma otak lo yang penuh sama makanan, terutama mie!" Aruna menimpali dengan tawa, membuat suasana semakin ceria.

Fellora yang semula sedikit khawatir dengan pendakian ini, akhirnya tertawa juga. "Gue mikirnya, selama kita masih jalan bareng-bareng kayak gini, yaudah lah. Nggak usah terlalu dipikirin, yang penting ketawa."

Aruna mengangguk setuju. "Bener banget! Bahkan kalau kita nyasar sekalipun, asal ada mie rebus sama makanan lain, gue sih oke oke aja."

Kien yang mendengar itu langsung tertawa keras. "Gue curiga, lo lebih peduli sama mie rebus daripada keselamatan kita deh."

Mereka berjalan lebih cepat, bercanda, sambil menyusuri jalan setapak yang semakin curam. Meskipun tubuh mereka mulai terasa lelah, semangat yang mereka bawa semakin membara. Suasana hutan yang sepi kini terasa seperti perjalanan seru yang penuh tawa. Mungkin jalur yang mereka tempuh ini tidak mudah, tetapi selama mereka bersama, apapun bisa mereka hadapi.

"Pokoknya," ujar Defano sambil menyeret langkahnya, "kalau sampai Pos 3 nanti kita nemu sesuatu yang aneh misalnya, ada pintu portal mistis ke dunia lain gue mau banget nyoba! Tapi setelah rebahan sambil makan snack dulu sih ya."

"Setuju!" jawab Kien, "Tapi jangan lupa, siapa yang nyasar duluan, dia yang beliin mie rebus, ya?"

Aruna langsung menimpali, "Tapi kalau kita gak nyasar, siapa yang bayar?"

Fellora tersenyum. "Paling ujung ujungnya kita semua bayarnya barengan juga, kan? Ngga usah terlalu dipikirin, yang penting kita nikmati perjalanan."

Mereka terus berjalan, langkah mereka semakin berat, tapi semangat tetap menyala karena obrolan yang nggak ada habisnya. Kien yang dari tadi heboh soal mie rebus, tiba-tiba mendadak diam.

"Eh, Kien, lu kenapa diem?" tanya Aruna sambil melirik curiga.
"Perut gue udah bukan cuma bunyi lagi, tapi bergetar kayak ada konser band rock di dalem," jawab Kien dengan ekspresi dramatis.

Defano ngakak. "Jangan-jangan nanti pas kita sampai Pos 3, sebelum sempet masak mie, perut lu udah konser dadakan sampe bikin gempa kecil!"

Fellora menambahkan, "Atau jangan-jangan lu bakal ngira sleeping bag kita itu mie rebus raksasa terus lu selimutan sambil ngayal makan?"

Semua langsung ketawa lagi, langkah mereka terasa lebih ringan meskipun tanjakan makin curam. Aruna yang jalannya paling depan tiba-tiba berhenti dan menunjuk sesuatu. "Eh, itu apaan?"

Mereka semua langsung melihat ke arah yang ditunjuk Aruna. Ternyata di tengah jalan ada seekor monyet yang duduk santai di atas batu, sambil memegang sesuatu. Semua memperhatikan lebih dekat, dan mereka langsung tercengang.

"ASTAGA! ITU BUKAN MIE REBUS, KAN?" Kien hampir menjerit.

Monyet itu memang lagi megang sesuatu yang mirip bungkus mie instan. Kayaknya sih ada pendaki sebelumnya yang nggak sengaja jatuhin.

"Bro, monyet aja tau mana makanan enak!" ujar Defano sambil pura-pura kagum.

Aruna menepuk jidat. "Gila, ini udah jadi pertanda. Kien, lu harus sabar, mie rebus kita nggak bakal direbut sama monyet kok."

Kien ngelus dada. "Iya, iya. Asal monyetnya nggak ngajak barter mie rebus sama pisang, gue masih aman."

Setelah melewati 'cobaan' monyet yang bikin deg-degan itu, mereka makin semangat jalan. Udara mulai lebih dingin, tanda kalau Pos 3 udah deket. Dan bener aja, setelah beberapa tanjakan yang bikin betis mereka protes, akhirnya mereka sampai!

Pos 3!

"Anak anak! Karna udah malem kita istirahat dulu ya!" Yudas, ayah Aruna memberikan arahan kepada yang lain. 

"ABIS ITU BOLEH MAKAN MIE KAN OM?" Santai banget mulut Kien bertanya pada Yudas yang sedang sibuk memasang tenda. 

Dengan cepat Aruna memukul tangan Kien, "Eh lo kaga liat apaan? Yang lain pada masang tenda, ini masih sama sibuk mie rebus mie rebus!" 


┈ ᅠ⸼ ׄ 3. Pos Tiga Bikin Cape! ׄ ⸼ᅠ┈
ᅠ⸼ ────꯭─꯭ֿ─ ᅠ❲Ⱉ❳ ᅠ─꯭ֿ─꯭──── ⸼


Setelah melewati 'cobaan' monyet yang bikin deg-degan itu, mereka makin semangat jalan. Udara mulai lebih dingin, tanda kalau Pos 3 udah deket. Dan bener aja, setelah beberapa tanjakan yang bikin betis mereka protes, akhirnya mereka sampai!

Pos 3!

"Anak anak! Karna udah malem kita istirahat dulu ya!" Yudas, ayah Aruna memberikan arahan kepada yang lain. 

"ABIS ITU BOLEH MAKAN MIE KAN OM?" Santai banget mulut Kien bertanya pada Yudas yang sedang sibuk memasang tenda. 

Dengan cepat Aruna memukul tangan Kien, "Eh lo kaga liat apaan? Yang lain pada bikin tenda, lah lo masih bahas mie rebus mie rebus!" 

Akhirnya semua tenda terpasang, terdapat 4 tenda yang diletakan berdekatan. Mereka semua langsung meelempar tas ke dalam tenda dan langsung mengambil posisi rebahan. Fellora mendesah lega. "Ya ampun, akhirnya kita nyampe juga!"

"Iya iya, gue tau lo lega karna udah nyampe! Tapi kaki lo bisa dipindahin dari atas perut gue kaga Ra?" Ujar Aruna dengan wajah seperti serigala yang akan menerkam mangsanya. 

Mereka masih sibuk dengan urusan rebahan di dalam tendanya, sedangkan yang lain sudah mulai menghidupkan api unggun untuk malam ini. 

Kien langsung bongkar tasnya, ngeluarin mie rebus dengan ekspresi kayak nemu harta karun. "Oke, saatnya masak mie rebus sakral ini!"

"ARUNA! FELLORA! DEFANO! MAU MIE REBUS KAGA?" Satu kalimat Kien yang dapat memanggil umat rebahan alias teman temannya itu. 

"Mau dong Kien, bikinin ye! Kan elu baik ganteng lagi!" Ujar Aruna kearah Kien dengan wajah sok imut, circle mereka ini emang aneh banget deh!

"Parah si Kien kalo orang se tampan gue kaga dibikinin mie!" Defano yang hanya mengeluarkan wajahnya dibalik tendanya dan Kien. 

Sambil masak mie, mereka ngobrol ngalor ngidul tentang perjalanan tadi, tentang monyet yang pegang bungkus mie, sampe tentang gimana Kien mungkin ada 'ikatan batin' sama mie rebus.

Ketika akhirnya mie rebus siap, mereka makan dengan lahap. Hangatnya mie yang beruap di udara dingin bikin semuanya terasa sempurna.

"Ini sih kebahagiaan sejati," ujar Kien dengan mata berkaca kaca dramatis.

Mereka semua ngakak lagi. Memang, perjalanan capek banget. Tapi dengan tawa, obrolan absurd, dan tentunya mie rebus, semuanya jadi lebih seru.

Malam itu, api unggun masih menyala tenang, menyebarkan hangat di antara mereka yang duduk melingkar. Mie rebus udah tandas, tapi mereka masih betah berkumpul, menikmati udara malam yang menusuk tapi juga entah kenapa nyaman.

Kien, yang kayaknya masih dalam euforia mie rebus sakralnya, tiba tiba mengeluarkan handphone dari saku celananya. "Oke teman teman, sekarang saatnya bikin vibes makin asik," katanya sambil nge-scroll playlist.

Lagu pertama yang keluar: Rumah ke Rumah – hindia.

"Wih, ini enak banget sih buat malam-malam begini," ujar Fellora, kepalanya udah bersandar ke bahu Aruna.

"Setuju," Defano ikut bersuara, matanya udah setengah merem karena kenyang.

Aruna sendiri diem, melihat api unggun yang berkobar pelan. Hawa malam di gunung emang beda, dinginnya nyentuh sampai tulang, tapi justru itu yang bikin suasananya makin berasa.

Indah berkala rumah ke rumah.
Berharap bisa berujung indah.
Walau akhirnya harus berpisah. 
Trimakasih karnamu tak mudah.

"Sumpah, kita udah kayak adegan di film film gitu ngga sih?" Kien tertawa sendiri. "Kelar capek capekan seharian, terus duduk di depan api unggun sambil dengerin lagu trus nyanyi bareng gini."

"Iya, tapi sayangnya kaga ada yang lagi curhat masalah hidup," Defano bercanda, bikin yang lain ketawa.

lagu selanjutnya: Senyumlah – Admesh.

Senyumlah syukuri hidupmu. 
Tunjukkan pada dunia bahwa kau bisa.
masih banyak yang lebih susah di dunia. 
Senyumlah syukuri hidupmu.

Suasana makin syahdu. Obrolan ngalor ngidul mulai berkurang, diganti sama suara lagu yang nyatu sama bunyi angin yang sesekali berhembus. Ada momen dimana mereka semua diam, bukan karena canggung, tapi karena lagi nikmatin momen.

Fellora tiba-tiba angkat tangan, menunjuk langit. "Wih, lihat bintang bintangnya banyak banget."

Yang lain otomatis mendongak. Dan benar saja, langit malam ini cerah banget, penuh bintang. Layak butiran pasir yang ditebar di atas kain hitam pekat.

Bukan seperti tadi yang amat gelap, suasana beneran berubah ketika mereka sampai di pos 3, walaupun dengan udara malam yang menusuk hingga tulang. 

"Ini sih yang bikin naik gunung selalu worth it," ujar Aruna pelan.

Kien, yang dari tadi nunduk di depan api unggun, tiba-tiba nyeletuk, "Gue seneng sih kita semua bisa ada di sini bareng bareng, nikmatin api unggun dibawah kelap kelip bintang."

Yang lain langsung noleh. Kien jarang banget ngomong kayak gini.

"Ih, lo abis makan mie kok jadi mellow gini sih?" Fellora mengejek Kien.

"Lah kaga, serius," Kien nyengir. "Soalnya jarang jarang kan, kita bisa ninggalin hiruk-pikuk duniawi dan cuma duduk di sini, santai, tanpa beban."

Aruna ketawa kecil. "Yaelah, gaya lo ngomong kayak orang tua yang udah capek sama kehidupan."

"Ya emang," Kien mendesah lebay. "Kadang tuh hidup di kota tuh capek, bro. Pagi nugas, siang macet, sore nugas, malem pengen tidur malah kepikiran hal hal aneh, hadehh."

Defano mengangguk setuju. "Bener sih. Di sini, engga ada deadline, engga ada kerjaan, engga ada nugas, engga ada notifikasi whatsapp yang ganggu."

Fellora, yang sudah semakin nyaman bersandar, ikut nimbrung, "Yang ada cuma udara dingin, bintang, api unggun, dan lagu lagu enak."

"Lagunya beneran cocok ya," ujar Aruna. "Senyumlah syukuri hidupmu, seolah olah, walaupun duniawi bikin kita capek, kita ngga boleh kelihatan lemah dimata manusia" 

"Iyaa, tapi lelah sama duniawi itu termasuk hal normal." Fellora menghembyskan nafasnya, sebelum melanjutkan ucapannya. "Malahan nangis itu menurut gue si wajar wajar aja, semua makhluk hidup butuh nangis malahan." 

Mereka semua kembali diam satu sama lain. Tapi untuk kali ini, bukan karena kepikiran hal aneh, melainkan karena mereka lagi menikmati momen momen berharga ini, menerima alunan musik dan lirik lagu kedalam gendang telinganya.

Lagu yang diputar Kien sudah masuk ke Sempurna – Andra and The Backbone.

"hadeh, playlist lu Kien, " Defano mendesah dramatis. "Ni lagu ini bikin inget mantan,"

"Lah, lo kapan punya mantan? Pacaran aja kaga pernah, awikawok." Aruna nyengir jail.

Yang lain ngakak, sementara Defano cuma bisa menghela napas panjang. "Pffft, boleh lah gue pura pura relate kayak remaja lain."

Suasana yang tadinya nyantai, tiba tiba berubah jadi ketawa ketawa lagi. emang gitu, di antara hawa dingin, perjalanan capek, dan badan yang udah minta rebahan, tawa selalu jadi hal yang bikin semuanya lebih hangat.

Janganlah kau tinggalkan diriku.
Takkan mampu menghadapi semua.
Hanya bersamamu ku akan bisa. 
Kau adalah radahku. 
Kau adalah jantungku.
.
.

"Sempurnaaa~" Mreka menyanyikan lirik itu bersama. 

"Real, lagu sempurna itu beneran kita banget ya?" Ujar Fellora sambil menyenderkan kepalanya di bahu Aruna sambil tersenyum, "Kita seolah olah sempurna kalau udah bareng begini. Ngga ada kata kekurangan, kita bakal selalu ketawa, kita selalu nempuh berbagai hal bersama." 

"Ingat ngga? Pas studi tour ke Bali, kita sempat nyasar berempat karna nyari makanan? wkwk, kita beneran lewatin jalannya bareng. Ngga ada kata panik, kita beneran merasa aman selagi ada satu smaa lain." Kien menambahkan.

Aruna tersenyum lebar. "Ingat banget! Sampe nyasarnya kepantai, yang lain istirahat di villa kita malah nyasar entah kemana." 

Beberapa saat kemudian, "Nak, udah jangan lama lama diluar. Masuk tenda lagi besok kita jalannya pagi ya." Ujar Yudas keluar dari salah satu tenda. 

Semua orang yang mengikuti pendakian ini mungkin sudah bergelut dengan mimpinya masing masing. Di luar hanya tersisa empat remaja dengan tawa renyahnya, Aruna, Defano, Kien, Fellora.

"Saking keasikan, kita sampe ngga sadar jam oi." Kien melihat kearah jam digital, jam pada handphonenya. 

Satu per satu penikmat api unggun malam ink mulai masuk ke tenda. Fellora yang pertama nyerah, disusul oleh Defano yang sudah tak nampak lagi batang hidungnya.

Kien, yang masih duduk di depan api unggun di temani lagu sempurnanya, nyeletuk ke Aruna, "Lo kaga tidur duluan, Na?"

Aruna nggeleng. "Entar dulu, gue masih pengen di sini."

"Oke, gue nemenin bentar," kata Kien.

Mereka duduk diam, cuma dengerin iringan suara api unggun yang makin mengecil. lagu dari handphone Kien sudah mati, diganti sama suara alam yang lebih hening.

"Besok perjalanan bakal lebih berat ya?" Kien akhirnya buka suara lagi.

Aruna mengangguk. "Iya, tapi bakal seru."

"Semoga aja engga ada kejadian aneh kayak tadi ya," Kien menguap. "Huaa! Oke lah, gue tidur duluan. Lo nyusul ya, ingat besok perjalanan kita lebih rumit, nanti om Yudas ngomel loh neng."

"Siap, akangg."

Setelah Kien masuk ke dalam tendanya dan Defano, Aruna masih duduk sebentar. Menikmati dinginnya malam, sebelum akhirnya bangkit, masuk ke tenda berwarna biru, tendanya dan Fellora.

Malam itu, gunung terasa begitu tenang dan damai. 

Di dalam tenda, Aruna melihat Fellora yang sudah terlelap dengan nyaman, bermain pada mimpinya. Aruna mengeluarkan sebuah notebook kecil dan sebuah pensil berwarna biru pink dari dalam ranselnya. Ia mulai menulis bagaimana perasaannya hari ini. 

'Hari ini seru banget! Walaupun banyak hal aneh yang aku lalui sama yang lain, vibesnya ngga pernah kalah! Mreka always ada buat aku' 

'Tapi, ada hal yang bikin aku ngerasa aneh sama gunung ini.' 

Tangannya kembali gemetar, "Ah! Apaan sih." Eluhnya pelan, hampir tak terdengar. 


┈ ᅠ⸼ ׄ 4. Menuju Pos 4 ׄ ⸼ᅠ┈
ᅠ⸼ ────꯭─꯭ֿ─ ᅠ❲Ⱉ❳ ᅠ─꯭ֿ─꯭──── ⸼

Tangannya kembali gemetar, "Ah! Apaan sih." Eluhnya pelan, hampir tak terdengar. 

Akhirnya Aruna memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Hari ini benar benar melelahkan, sepertinya dia akan kesiangan besok kalau ngga ada yang bangunin dia. 

"Pfftt, ngantuk banget, " Monolognya sendiri. "Ra, pagi bangunin gua ya." katanya sebelum memejamkan mata. 

Rasanya ia baru saja memulai mimpi indahnya, Fellora sudah membangunkannya. "Na, Aruna bangun kata bapak lo udah siang kita berangkat lagi Na, Na bangun ih!" Fellora mengguncang guncang tubuh Aruna yang enggan bangun dari mimpi indahnya. 

"Ih, Aruna bangun ngga lo? Itu bang Windah bersaudara live streaming Na!" Fellora yang muak, berteriak di sebelah Aruna. 

"Bentar Ra, 5 menit lagi aja srius," Aruna bahkan hanya menggerakkan mulutnya, "Bilang bang Windah, live streamingnya di undur Ra." 

"Astagaaaaaaaa! OM YUDAS ARUNA NGGA MAU BANGUN BANGUN IH!" Seketika suara cempreng cewek dengan rambut dikuncir kuda itu memenuhi area sekitar, mungkin burung burung yang mau nyanyi auto minder. 

Aruna menghela nafasnya sebelum menutup kembali wajahnya, "Astaga Na! Pelit banget sama teman sendiri, 5, menit doang Na 5 menit, gua ngga sanggup ngantuk banget ini." 

Fellora menghela napas panjang. Dia melirik ke arah Mien yang baru keluar tenda dengan rambut masih berantakan seperti singa bangun tidur.

"Kien, bantuin bangunin Aruna, nih anak keras kepala banget," Fellora nyodorin misi berbahaya kepada Kien.

Kien, yang masih ngumpulin nyawa, mendekati Aruna yang masih membenamkan wajah di sleeping bag. "Na, bangun woy. Ini udah siang, kita bakal ditinggal bapak lo sama rombongan."

Aruna cuma merespon dengan gumaman tak jelas. "Hmmgh... 5 menit lagi bro..."

Kien melirik Fellora dengan ekspresi 'gimana nih?' sebelum akhirnya dapet ide brilian. Dia mendekat ke kuping Aruna dan berbisik dengan suara dramatis.

"Arun... mie rebus terakhir bakal gue makan sendiri nih kalo lo tetap nyaman tidur... kuahnya yang anget banget bikin perut anget, mie-nya yang lembut kayak mie dari awan Na..."

Srak!

Aruna langsung bangun dengan mata setengah sadar. "Weh! Kien lo jangan bercanda gitu deh, itu bekal kita yang paling berharga!"

Fellora dan Kien ngakak liat reaksi Aruna yang auto siaga. Dari dalam tenda, defano yang denger keributan juga akhirnya keluar, nyengir.

"Yuhuuu, akhirnya ratu tidur kita bangun juga," ujar Defano sambil ngulet.

Aruna masih berkedip kedip berusaha sadar sepenuhnya, sementara yudas, ayahnya sendiri-yang udah siap dengan carrier di punggung-berdiri di tengah mereka dengan tangan di pinggang.

"Oke anak-anak, ayo cepet siap-siap. perjalanan masih panjang!"

Aruna akhirnya pasrah, bangkit sambil masih ngedumel kecil. "Kalian tega banget sih goda gue pake mie rebus kek begitu, dosa banget..."

"Eh, yang penting lo bangun kan?" Kien ngetawain Aruna lagi sebelum mulai packing barangnya.

"Hua! Mana ini masih tengah malam begini lagi, hiks tega kalian sama dedek!" Dramanya sendiri. 

"Udah, ayo siap-siap," ujar Yudas sambil melirik ke arah Aruna yang masih berusaha membuka mata sepenuhnya.

"Ngantuk banget, sumpah," gumam Aruna pelan sambil menguap lebar.

Kien yang masih sibuk merapikan tasnya malah cekikikan. "Ya elah, lo baru bangun udah ngeluh. Udah, cuci muka, biar otak lo nyala."

Aruna mendelik ke arah Kien tapi tetap beranjak ke arah sumber air untuk mencuci muka. Sementara itu, yang lain mulai merapikan tenda dan memastikan barang-barang nggak ada yang ketinggalan.

Fellora yang udah kelar packing duduk di atas batu besar sambil ngulet. "Gue masih nggak percaya sih, kita beneran udah sampai Pos 3. Kayaknya baru kemarin kita turun dari mobil di basecamp."

"Baru kemarin apanya? Tadi malem aja lo udah ngomel-ngomel capek," balas Defano sambil memasukkan botol minumnya ke dalam tas.

Fellora nyengir. "Yaudah sih, gue kan manusia, wajar ngeluh."

Aruna balik ke tenda dengan wajah yang sedikit lebih segar, meskipun masih keliatan sisa-sisa ngantuknya. "Oke, gue udah cuci muka. Sekarang, boleh nggak kita sarapan dulu?"

Yudas menggeleng sambil tersenyum. "Sarapan ringan aja, nanti makan beratnya pas udah jalan."

Kien langsung mengeluarkan sebatang coklat dari kantong celananya. "Nih, yang butuh energi instan."

Aruna langsung meraih coklat itu dan menggigitnya tanpa banyak basa-basi. "Makasih, Kien. Lo emang saudara sepermakanan gue."

Setelah memastikan semua barang udah siap, mereka mulai bergerak. Langkah pertama meninggalkan Pos 3 terasa lebih berat karena kaki masih pegal, tapi semangat mereka nggak luntur.

"Pos 4, we're coming!" seru Defano sambil mengangkat tangannya ke udara.

Mereka lanjut jalan dengan langkah yang udah mulai terbiasa sama tanjakan dan medan berbatu. Defano yang jalannya paling belakang tiba-tiba nyelutuk, "Akhh, kapan kita nemu jalur yang turun? Dari tadi nanjak mulu!"

Aruna ngakak. "Bro, ini mendaki gunung, bukan turun gunung."

"Iya sih, tapi masa nggak ada bonus jalur datar dikit? Kaki gue protes dari tadi."

Kien, yang jalan di depan, noleh sambil ngetawain Defano. "Makanya, bro, latihan dulu sebelum naik. Jangan rebahan mulu di rumah."

Fellora nimbrung, "Yaelah, Kien, lo juga kan anak rebahan. Jangan sok paling atletis!"

Mereka semua ketawa, dan perjalanan lanjut lagi. Pohon-pohon makin rapat, tapi udara tetap sejuk. Mereka mulai bercanda soal makanan, soal gimana Kien selalu punya stok camilan di tasnya, dan soal Fellora yang punya kebiasaan ngeluh tapi tetap semangat jalan.

Setelah beberapa jam jalan, mereka nemu tempat enak buat istirahat. Ada segerombolan batu besar yang cukup buat duduk beristirahat sejenak, plus pemandangan lembah di bawah yang cakep banget.

Aruna duduk sambil ngulet. "Gila, cakep banget view-nya. Ini kalau ada kopi sama pisang goreng, mantep sih."

Kien langsung bongkar tasnya dan ngeluarin termos kecil. "Nih, gue ada kopi. Sayangnya pisang goreng nggak ada."

Defano ngelirik termos itu dengan mata berbinar. "Gila, lo kayak penyelamat bangsa, Kien."

Fellora buru-buru ngambil gelas lipatnya. "Udah lah, kita cheers dulu pake kopi. Ini namanya kopi persahabatan pendaki!"

Mereka ngakak, terus mulai menuang kopi satu per satu. Duduk di atas batu sambil menikmati kopi panas bikin energi mereka balik lagi.

Setelah cukup istirahat, mereka lanjut jalan. Semakin naik, mereka mulai nemu jalur yang lebih sempit dan sedikit berbatu. Tapi makin susah jalurnya, makin banyak canda yang mereka lempar biar perjalanan nggak berasa berat.

"Kalau bisa milih, lo lebih pilih turun sekarang atau lanjut ke puncak?" tanya Aruna tiba-tiba.

Kien mikir sebentar, terus jawab, "Lanjut lah. Udah sejauh ini, masa nyerah?"

Fellora ngangguk. "Iya, lagian kalau turun sekarang, nanti kita nggak punya cerita buat sombong ke anak anak buat berapa tahun mendatang."

Defano ngakak. "Gilaa, motivasinya biar bisa sombong!"

Mereka lanjut jalan, kali ini dengan semangat yang sedikit lebih tinggi setelah istirahat. Udara makin dingin, tapi anehnya mereka justru makin banyak bercanda.

Aruna melirik Kien yang masih jalan di depan. "Eh, stok camilan lo masih banyak nggak?"

Kien noleh dengan ekspresi penuh kecurigaan. "Lo nanya gitu pasti ada maunya."

"Ya kali nggak." Aruna nyengir. "Bagi dikit lah."

Kien mendesah dramatis sebelum akhirnya merogoh tas dan melempar sebungkus wafer ke arah Aruna. "Ambil deh. Tapi jangan harap lo dapet jatah lagi nanti!"

Aruna menangkap wafernya dengan sigap dan langsung nyengir menang. Fellora dan Defano yang ngeliat cuma bisa geleng-geleng kepala.

"Lo berdua tuh kayak anak kecil, serius," komentar Fellora sambil jalan di tengah.

"Yang penting bahagia, Ra," jawab Aruna santai.

Defano tiba-tiba berhenti dan nunjuk ke depan. "Eh, liat deh! Kayaknya kita dapet jalur bonus nih."

Mereka semua ngelirik ke arah yang ditunjuk Defano, dan bener aja-jalurnya mulai agak datar.

"Astaga, makasih semesta!" Kien mengangkat tangan ke udara. "Akhirnya kaki gue bisa istirahat dari nanjak mulu!"

Tanpa basa-basi, mereka semua jalan lebih cepat, menikmati momen langka di mana mereka nggak harus ngos-ngosan naik tanjakan. Jalanan ini penuh dengan pohon tinggi di kanan-kiri, bikin suasananya sejuk banget.

"Ini jalur yang pas buat ngobrol ngalor-ngidul," kata Fellora sambil mengayunkan tangannya. "Kita bahas apa nih?"

Aruna mikir sebentar sebelum nyengir iseng. "Gimana kalau kita bahas siapa yang bakal paling duluan nyerah kalau disuruh naik gunung lagi minggu depan?"

"Ya jelas Kien!" Defano langsung jawab tanpa ragu.

Kien kaget. "Eh, kok gue?!"

"Lo kan paling doyan rebahan," kata Fellora sambil ketawa. "Udah ketebak sih."

Kien menghela napas panjang. "Gue tuh rebahan bukan karena mager, tapi karena menghargai waktu istirahat.

Serempak mereka bertiga tertawa mendengar pembelaan diri Kien. "Si kocak ini, sama aja atuh mang! si mamang!" Balas Defano seraya menoyor kepala Kien. 

Mereka lanjut jalan dengan jalur yang mulai bersahabat dari sebelumnya, setidaknya buat sementara. Angin sepoi sepoi yang lewat di sela-sela pepohonan membuat suasana yang di isi oleh para pendaki itu menjadi semakin nyaman, meskipun badan mereka udah mulai pegal tetapi tetap ada raut semangat di setiap wajah. Aruna yang sedari tadi berjalan sambil memakan wafer yang tadi dia dapatkan dari Kien. 

Sementara Fellora yang dari tadi sibuk untuk ngeluarin kamera buat ngambil beberapa foto pemandangan sekitar, yang menurutnya menarik dan bagus, dan lupa ia juga mengambil foto foto aib teman temannya.

"Nih, kita butuh dokumentasi buat bukti kalau kita nggak cuma ngeluh doang selama perjalanan di gunung," ujar Fellora sambil cekikikan.

"Lah, kan lo yang paling banyak ngeluh dari tadi Fel," Defano nyeletuk tanpa ragu.

Fellora mendelik. "WOIK! gue tuh cuma ngasih komentar situasi aja, bukan ngeluh!"

Aruna ngakak dengan teman temannya itu, "iya, iya, lo komentator, bukan pengeluh."

Kien, yang jalan di depan, mendadak berhenti dan melihat sesuatu di tanah. "Eh, pada liat nggak ini?"

Mereka bertiga ngedeketin kien, yang nunjuk ke jejak kaki di tanah.

"Jejak kaki siapa tuh coi? Kayaknya gede banget," gumam Aruna sambil jongkok buat liat lebih jelas, ia amati jejak kaki yang kurang jelas itu, sepertinya dia sedang merasa menjadi seorang detektif yang teramat keren.

Fellora mengernyit sambil menunduk, melihat kearah bawah. "Hmm, mungkin pendaki lain?"

"Atau... jangan jangan makhluk gunung?" Defano berkata dengan nada dramatis, membuat fellora langsung nyubit lengannya. "Aw aw! bercanda doang kawann!"

Kien ngelirik jejak kaki itu sebentar sebelum mengangkat bahu. "Yaudah lah, selama nggak ada yang aneh aneh, it's okei, kita lanjut aja."

Mereka kembali melanjuti jalan yang sempat terhenti itu, kali ini agak lebih waspada. Bukan berarti karena takut, tapi karena jalur mulai berbatu lagi, dan mereka nggak mau keseleo di tengah jalan. Setelah sekitar setengah jam jalan, mereka nemu sebuah tanah lapang kecil di pinggir jalur, cocok buat istirahat sebentar.

"Mampir dulu nggak? Kayanya enak buat selonjoran kaki," saran defano kepada pendaki lain serta teman temannya.

Aruna langsung setuju. "Yeahh!, kaki gue udah kayak beton rasanya,"

"Gimana ayah? Kita boleh berhenti disini dulu buat istirahat ngga ayah?" sambungnya 

"Yaudah, kita istirahat disini dulu." Balas ayah Aruna, Yudas dari depan sambil mengangguk setuju. 

Mereka duduk di tanah, beberapa bersandar ke batang pohon. Kien ngebuka termos kecilnya lagi dan menuang kopi buat yang masih mau. Fellora sibuk scroll scroll foto di kameranya, foto foto disana memang bagus, malahan sangat bagus, Fellora memang ahli dalam bagian kameramen seperti ini.

"Eh, gue ada permen mint, ada yang mau?" Fellora ngebuka bungkus permen sambil menawarkan ke yang lain.

Aruna langsung nyomot satu. "Mantap kawann, biar napas gue tetep segar."

Mereka ngobrol santai sambil meluruskan kaki yang hampir kram. langit masih cukup cerah, tapi mulai keliatan awan awan tipis yang bergerak pelan.

"Ini kalau hujan pas kita jalan gimana ya?" Fellora tiba-tiba nyeletuk.

Kien mengangkat bahu. "Ya terima nasib. Makanya kita harus gercep, jangan terlalu lama istirahat."

Aruna menghela napas panjang. "Hufft, bener juga. Yaudah, lima menit lagi kita jalan lagi, gimana?"

Yudas yang sedang meneguk kopi itu tampak berfikir sejenak. "Ada benarnya juga kata nak Kien, yasudah habis ini kita lanjut jalan saja ya."

Setelah cukup istirahat, mereka mulai bangkit dan melanjutkan perjalanan. Semakin naik, semakin banyak ranting ranting kecil di tanah yang harus mereka lewati. Aruna yang jalan di tengah sempat tersandung batu kecil dan hampir jatuh, untung Kien yang di depannya refleks megang lengannya.

"Wah, hampir aja," kata Kiien.

Aruna ngedumel sambil ngerapihin tasnya. "Duh, gue harus lebih hati hati nih, mana tas nya berat lagi."

Mereka jalan dengan langkah lebih hati hati. Jalur mulai agak menanjak lagi, tapi mereka tetap semangat. Selama perjalanan, mereka sempat berhenti beberapa kali buat minum dan ngatur napas. Udah mulai terasa kalau mereka makin mendekati pos selanjutnya.

"Gue penasaran deh, pos 4 ini ada tempat duduk yang proper nggak ya?" Tanya Defano sambil ngusap keringat di lehernya.

"Harapan lo ketinggian, no," Fellora ketawa. "Ini gunung, bukan rest area tol."

Setelah perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya mereka mulai merasakan hawa hawa pos 4. "Firasat gua mengatakan jika, pos 4 ada beberapa meter dari kita berdiri sekarang ini!" Ucap Aruna dengan semangatnya yang amat membara. 

"Hahahaha, Iya Run, semangat menyala Run!" Kien bertepuk tangan sambil tertawa formal melihat tingkah laku temannya ini, sungguh ia sangat lelah dengan teman temannya ini.

Benar saja, dilihat ada tanda tanda kalau pos 4 udah dekat. Ada beberapa pendaki lain yang keliatan lagi duduk duduk di kejauhan.

"Yes! Akhirnya!" Aruna bersorak kecil, "noh apa kata gua, bener kan! Firasat Aruna ni bos tampling dong!" Timpalnya yang langsung dapet lirikan geli dari kien.

Mereka semakin mempercepat langkah sampai akhirnya sampai di pos 4. di sana, mereka nyari tempat duduk teramat nyaman sebelum akhirnya melepas tas mereka dan meregangkan badan.

"Oke, kita istirahat sebentar, terus makan siang di sini aja," ujar Yudas, yang baru aja nyusul mereka dengan rombongan.

Aruna mengangguk lemas. "Yeshh, akhirnya makan berat! sabar ya kamu rut, perut." Ucapnya dengan dramatis sambil mengelus perutnya sendiri, astaga sangat cocok sikapnya untuk dijadikan bahan bersyukur di grup keluarga ini!

"Gaya lo Run! Inimah kalo tadi gua rekam, bisa jadi bahan bersyukur di grup keluarga!" Defano melihat kearah temannya, astaga!

Kien tanpa banyak cocot langsung ngeluarin kotak bekal mereka, sementara Fellora mulai sibuk motret suasana pos 4, dengan pepohonan yang lebih menjulang tinggi apalagi warna pepohonan itu yang didominasikan oleh warna hijau segar.

Mereka akhirnya duduk bersama, makan dengan lahap, dan ngobrol santai. Perjalanan mereka masih panjang, tapi untuk sekarang, mereka menikmati istirahat yang ada.

"Uhuk uhuk!" Suara batuk Kien yang langsung mencari minum. 

Aruna yang awalnya ingin tertawa tapi memberi minum dulu, bagaimana jika temannya meninggal hanya karna tersedak di gunung? kan tidak lucu! "Nah lo! Makanya, kalo lapar itu makannya tetap santai aja, ngga usah buru buru kaya bakal dikejar setan bae dah!" 

"Lipir Rin, Lipir bingit ini! Halah palingan die jawab begitu dah!" Balas Fellora sambil menyuapkan nasinya. 

Mereka lanjut makan dengan santai, sambil bercanda dan ngobrol ngalor ngidul. Fellora masih sibuk ngeluarin handphone nya untuk motret suasana sekitar. Pepohonan tinggi yang melindungi mereka dari terik matahari, suara angin sepoi sepoi yang bikin makin nyaman, dan pemandangan sekitar pos 4 yang cukup rame sama pendaki lain. Beberapa kelompok terlihat lagi nyantai, ada yang masak mie instan, ada yang ngobrol, ada juga yang cuma selonjoran nikmatin udara gunung yang segar.

"Duh, enak banget ya di sini," Fellora nyeletuk sambil melongok ke langit yang mulai kebiruan terang, awan putih berarak pelan. "Serasa nggak mau turun lagi, pengen nge stuck di sini aja."

"Setuju sih," Aruna menimpali. "Tapi inget ya, tujuan kita bukan diem di pos 4, melainkan sampe puncak!"

Kien melirik malas, "Iyaa buketuu, siap dimengerti buu. tapi ya nggak ada salahnya nikmatin perjalanan juga. siapa tahu besok besok kita udah ngga bisa muncak bareng lagi."

Mereka sempet terdiam beberapa detik mendenger kalimat yang dilontarkan oleh Kien. iya juga sih, siapa yang tau kapan mereka bisa bareng-bareng lagi begini? masing-masing pasti bakal punya jalannya sendiri di masa depan. Aruna mendesah pelan, lalu menggeleng.

"Nggak usah so' so' an mellow lu, Kien. pokoknya kita harus tetap sering sering muncak bareng, sampe tua pun kalo bisa!" katanya penuh semangat.

"Wih, janji ngga nihh?" Defano langsung menodong jari kelingkingnya.

Aruna menyambut dengan kelingkingnya sendiri, lalu disusul Fellora dan Kien. Mereka saling tersenyum, lalu ketawa kecil karena sadar betapa kekanakannya mereka.

"Gua jadi keingat kartun yang, kita berjanji akan menjadi sahabat!" Seru Defano, "Sahabat selamanya!" Disusul oleh yang lain sambil tertawa. 

"Nah, sebelum janji ini kita realisasikan, ayo deh, kita lanjutin perjalanan ke pos 5!" Ujar Yudas yang dari tadi diem, tapi udah selesai makan.

"Siiapp pakk yudas, bos besar kita!" Aruna bercanda, sementara yang lain buru buru memberesihkan barang barang dan siap buat jalan lagi.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih santai, tapi tetep fokus. Jalur dari pos 4 ke pos 5 mulai lebih menantang. Tanjakannya lebih curam, jalannya lebih berbatu, dan beberapa titik ada akar pohon yang menjulur ke mana-mana. untungnya, cuaca masih bersahabat.

"Aduh ini tanjakan apaan sih, kayak tangga menuju surga bae," Fellora ngedumel sambil ngos ngosan.

"Lah harusnya lo bersyukur Raa, ini tandanya kita makin deket dari puncak!" Defano malah makin semangat.

Aruna ketawa kecil, tapi dia sendiri mulai kerasa capek juga. Tapi dia nggak mau kalah. "Ayo Raa, sedikit lagi! Inget, firasat Aruna nggak pernah salah!"

Kien yang dari tadi diem akhirnya nyeletuk, "emang firasat lo pernah bener?"

Aruna melotot ke Kien, sementara Fellora ketawa ngakak. "Yeuhh! Tadi itu apaan? kan gua punya firasat kalo pos 4 dekat, trus kita sampe pos 4 deh." 

"Itumah beda kocak! Kalo tadi kita jalannya udah lama, udah udah ini aja baru jalan kite nye!" Balas Kien dengan sewot, emang rajanya sewot si Kien Kien itu. 

Mereka terus naik dengan langkah yang makin berat, tapi tetep sambil bercanda. Ada momen di mana kien hampir kepleset gara-gara jalanan yang licin, tapi Aruna dengan sigap berhasil nangkap lengannya Kien sebelum dia jatuh.

"Buset, ini udah kayak drama korea, tinggal ada soundtrack nya doang," Defano ngomentarin sambil pura pura megang dada.

"Bener! Sek gua sebagai kembaran Rose Blackpink bakal nambah soundtrack dengan suara merdu gua," jawab Fellora dengan semangat dan antusias. 

"Ku menangis, membayangkan betapa kejamnya dirimu pada diriku." Fellora melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti. 

"Halah diem lo," Kien cemberut, tapi dia tetap tidak bisa nutupin senyum kecilnya.

Fellora masih cekikikan sambil jalan, napasnya mulai ngos-ngosan. "Gila ya, kita ini cape tapi mulut tetep nyala. hebat juga sih."

"Ya iyalah," jawab Aruna dengan bangga, "tim pendaki plus-plus-plus-plus tenaga, plus suara, plus drama ni boss!"

"Plus ngeselin," timpal Kien sambil nendang kerikil kecil di depannya, bikin yang lain makin ketawa.

Jalanan makin nanjak, pohon-pohon mulai jarang, diganti sama semak belukar yang lebih pendek. Kabut tipis mulai turun, bikin udara makin dingin. Fellora merapatin jaketnya, lalu nyeletuk, "eh, abis ini kita kemping kan? Please banget jangan tidur di jalur gini."

"Ya iyalah, kalo bisa nemu tanah datar dikit aja langsung gelar tenda," kata Defano. "Kalo enggak, ya tidur berdiri kek pohon."

Aruna yang jalan paling depan, meliat ada batu gede di samping jalan. Dia langsung nyeru, "eh, break lima menit dulu yuk, gua mau minum. Lutut udah mulai demo nih."

Mereka semua setuju dengan semangat 100%. masing-masing duduk di atas batu atau tanah, melepaskan carrier sebentar dan ambil botol minum. Suara jangkrik mulai kedengeran, diselingi sama angin yang lewat pelan.

"Eh guys," kata Aruna pelan sambil minum, "tapi bener deh, kayaknya kita udah makin deket ke pos 5."

Kien mau nyeletuk lagi, tapi Defano lebih dulu ngomong, "gue percaya deh kali ini. Soalnya tanjakannya udah nggak segila tadi. Biasanya tuh tanda-tanda mau masuk area pos."

Fellora angguk-angguk, "dan biasanya juga, makin deket pos makin banyak capeknya."

"Itu mah karena kita makin tua," ujar Kien sambil ngeringkuk duduk, "dulu waktu muda, lari naik juga kuat."

"Lah umur lo berapa sih, ngaku tua," Fellora dorong pundaknya pelan.

"Tua dalam semangat, bukan angka."

Mereka semua ketawa lagi. Lelah emang, tapi suasana kayak gini bikin perjalanan jadi lebih ringan. Dan abis lima menit yang terasa kayak lima detik, aruna berdiri duluan.

"Ayo, lanjut! Gua yakin banget pos 5 tinggal dikit lagi!"

Kien berdiri sambil geleng-geleng. "Firasat lagi nih..."

"Kali ini beneran, demi persahabatan!" Aruna ngacungin tangan kayak tokoh anime, disambut sorakan lemes dari yang lain.

Mereka kembali jalan, langkahnya berat tapi semangat tetap nyala. suara candaan, tawa, dan sesekali umpatan kecil dari kien tetap ngisi perjalanan itu.

Jalan mulai landai, dan itu udah cukup buat nambah semangat mereka. Nggak ada lagi tanjakan maut yang bikin dengkul gemeteran. Udaranya juga jadi lebih adem, angin pelan nyisir kulit mereka kayak pelukan lembut-walau tetep aja lebih enak dipeluk selimut.

"Nih baru enak," kata Defano, narik napas panjang, "jalan kayak gini mah bisa gua lari."

"Coba aja," tantang Kien sambil ngelirik, "lari deh."

Defano langsung pura-pura stretching, "Wah engkel gua kayaknya abis deh. ntar aja larinya, pas turun."

Fellora ketawa, "Alesan klasik. Engkel, dengkul, tiba-tiba jari kelingking juga ikutan sakit."

Mereka terus jalan dengan obrolan ngalor-ngidul yang nggak jelas ujungnya. tiba-tiba Aruna berhenti dan ngasih isyarat tangan ke belakang, "Sst, denger deh."


BAB 5 

Mereka terus jalan dengan obrolan ngalor-ngidul yang nggak jelas ujungnya. tiba-tiba Aruna berhenti dan ngasih isyarat tangan ke belakang, "Sst, denger deh."

Semua langsung diam. cuma suara angin, dedaunan, dan... samar-samar suara orang? kayak ada yang lagi ngobrol, tapi jauh.

"Eh itu suara orang bukan sih?" Tanya Fellora, mata ngelirik ke arah depan.

"Kayaknya sih iya," jawab Kien pelan, "jangan-jangan..."

"Nah jangan mulai horor deh," potong Aruna cepat-cepat, "itu pasti pendaki lain, mungkin dari arah seberang."

Mereka tambah ngebut jalannya, penasaran juga. Bener aja, sekitar sepuluh menit kemudian mereka nemu dua pendaki lain lagi duduk santai di bawah pohon, sambil ngunyah snack.

"Wuih, ada yang nyusul," sapa salah satu pendaki itu. "Mau ke pos 5 juga?"

Aruna langsung senyum lebar. "Iya nih, udah deket belum?"

"Tinggal dikit kok, lima belas menitan dari sini juga nyampe."

Reaksi tim langsung seperti anak kecil yang diberi kinderjoy oleh ibunya. ada yang lompat kecil, ada yang tepuk tangan, ada juga yang cuma senyum leganya udah kayak abis dapet kabar utang lunas.

"Tuh kan! Gua bilang juga apa!" Aruna ngakak sambil nunjuk-nunjuk Kien.

"Yaudah, gua akuin," kata Kien, ngangkat tangan, "Firasat lo sekali ini bener. Tapi cuma sekali ya!"

Fellora nyamperin aruna dan nyikut pelan, "Mungkin dia emang punya radar pos, ya."

"Firasat anak gunung," jawab Aruna sok-sokan sambil jalan lagi.

Langkah mereka makin ringan walau napas makin berat. Tapi bayangan bakal nyampe pos 5 kayak ngecharge energi mereka lagi. Dan ketika mereka akhirnya liat papan bertuliskan "Pos 5", semua langsung bersorak, ada yang tepuk tangan, ada yang tiduran langsung di tanah.

"AKHIRNYA!!" Defano teriak.

"Ini nih, tempat paling indah di dunia sekarang," Fellora langsung duduk dan buka botol minum.

"Udah kayak surga," Kien nambahin, "minus bantal, wifi, sama kopi."

"Bentar lagi gua seduh kopi," jawab Aruna sambil ngerogoh tasnya, "karena pendaki sejati selalu bawa kopi sachet."

Tenda mulai didirikan, alas digelar, dan suasana mulai tenang. tapi tawa dan obrolan masih terus muter di antara mereka. Walaupun cape luar biasa, tapi hari itu, malam itu-adalah salah satu momen yang bakal mereka inget terus.

Tak berselang lama dari mereka menyeduh kopi, Yudas mendatangi mereka, Aruna, Kien, Defano dan Fellora yang sedang selonjoran. 

Yudas berjongkok di dekat para pemuda itu. "Nak, masi cape?" 

"Lumayan lega yah, kenapa yah?" Aruna balik bertanya pada sang ayah. 

"Bisa bantuin yang cari kayu kering ngga nak? Kalo masi cape istirahat dulu gapapa kok." Yudas merasa tak enak meminta tolong pada pemuda itu. 

"Oh! Gimana gys? Kalian udah semangat belum nii?" Fellora mengeluarkan suara, bertanya pada temannya. 

"Gua semangat dong! Toh itung itung puter puter disini juga!" Defano menjawab dengan riang. 

"Gua setuju banget!" Aruna membalas dengan senyum manisnya. 

Berbeda dengan raut wajah Kien, yang tampak masi lelah. "Hem, aduh ih."

"Lo gamau ikut Kien?" Fellora bertanya. 

"Bukan gamau." 

"Trus gimana?" 

"IHH, YAUDAH LAH GUA IKUT!" Kien akhirnya memasrahkan diri dan memilih ikut dengan kawannya dari pada tinggal dengan pendaki lain. 

"NAH AYOK!" Aruna semangat, "sekarang kan ayah?" tanya nya yang di balas anggukan oleh sang ayah, Yudas. 

“Aduh, hutan lagi... mana gelap, mana banyak nyamuk...” keluh Kien sambil ngibas-ngibas udara yang seolah penuh ilusi nyamuk, padahal baru juga masuk beberapa meter ke dalam rimba.

“Cuma dikit kok, Kien. Gausah drama, kayak syuting sinetron,” Aruna nyengir sambil jalan paling depan.

Yudas cuma senyum-senyum lihat anak-anak muda itu ribut sendiri. “Cari yang udah kering ya, jangan yang masih nempel di pohon. Biasanya di bawah akar pohon gede banyak.”

Defano langsung sigap ngamatin sekeliling. “Kayak detektif nyari petunjuk di film kriminal,” katanya sambil nyelupin tangan ke semak-semak.

Fellora berdiri agak jauh, matanya awas, tangannya ngelipet. “Gue bagian nyorot senter dan komentar pedas.”

“Kayak komentator bola tapi cuma buat orang nyari ranting,” celetuk Aruna sambil ketawa.

Kien ngikut dari belakang, kakinya nyeret kayak zombie. “Gue udah capek-capek naik gunung, sekarang disuruh jadi pemulung…”

“Pemulung kayu mulia,” Yudas nambahin, nadanya kalem.

“Buset, udah kayak kisah legenda,” ujar Kien dengan nada pasrah.

Setelah sekitar lima belas menit nyusur area yang agak landai, mereka mulai nemuin beberapa ranting yang cukup kering.

“Ini oke nih,” kata Defano sambil ngangkat sebatang kayu. “Kering, ringan, tapi panjang.”

“Kayak mantan yang nggak bisa move on,” balas Fellora cepat.

Aruna ketawa sampe jongkok. “Ya ampun, itu apaan sih analoginya…”

Satu demi satu mereka mulai ngumpulin ranting ke dalam tumpukan. Yudas sesekali bantu arahkan dan sesekali diem aja sambil mantau mereka, kayak ayah yang bangga tapi juga sedikit khawatir.

“Kien, lo udah dapet belum?” tanya Aruna.

“Belum, gue lagi milih yang cocok. Kayak nyari pasangan hidup gitu, nggak bisa sembarangan.”

“Tapi sayangnya lo belum nemu juga sampe sekarang,” timpal Defano yang langsung dapet lemparan ranting kecil ke arah kepalanya.

“Eh, eh, damai dong, damai,” Yudas ikut nimbrung, “nanti kita dikira lagi gladiator battle, bukan nyari kayu.”

Kembali fokus pada tujuannya, mencari kayu. Belum ada yang memulai pembicaraannya. 

"Hallo? Terus gimana? Saya susul sebentar ya." Yudas berbicara dengan lawan di seberang sana. 

"Nak, ayah balik ke tenda bentar ya. Tadi bi Putri bilang ada tenda yang ngga bisa dipakai." Yudas kembali berbicara, kali ini dengan anak gadisnya. 

"Iyaa yah, tapi ayah balik kesini lagi ngga?" Aruna menjawab ayahnya dengan nada lembut. 

"Maaf nak, kayanya ngga, kalian balik berempat aja ya nanti, gapapa kan?" Lagi dan lagi Yudas kembali bertanya, nasibnya menjadi orang tidak enakan. 

"IH!! Om tega ninggalin aku!?" Kien dengan dramatis langsung bergegas menuju ke arah Yudas akan jalan. 

"Gapapa atuh om! Kita kan udah pada dewasa," Defano segera memegang baju Kien. "Si Kien Kien ini biarin aja om! Kan om tau anaknya emang demen dramatis abis." Sambungnya. 

Yudas akhirnya pamit dan melangkah balik ke arah tenda. Langkahnya terdengar makin pelan sampai akhirnya hilang ditelan hutan. Empat orang yang tersisa—Aruna, Kien, Fellora, dan Defano—kembali fokus ngumpulin kayu, meski suasana mulai agak sepi.

“Eh, ini kok makin gelap ya?” Fellora noleh ke arah langit yang udah mulai dilapisi awan tebal. Senter di genggamannya jadi satu-satunya cahaya yang bisa diandelin.

“Baru jam lima-an padahal…” gumam Aruna sambil ngelirik jam tangan digitalnya.

Kien nyentil, “Mungkin hutan ini nyalain mode gelap duluan.” Tapi kali ini nggak ada yang ketawa.

Langit makin kelam. Angin mendadak berembus lebih dingin dari sebelumnya, bawa bau lembab yang nggak enak. Mereka ngeliat sekeliling—rimba itu seolah berubah. Pohon-pohon tinggi tadi yang keliatan biasa aja sekarang tampak kayak siluet raksasa yang mengawasi.

“Udahan yuk, kayunya udah lumayan,” ucap Defano agak pelan, matanya waspada.

Pas mereka siap balik arah, Aruna tiba-tiba nyempil, “Eh… tadi kita lewat mana ya?”

Semua langsung berhenti jalan.

Fellora noleh cepat. “Lho, bukannya tadi ada pohon gede bekas disamber petir? Mana ya…”

Mereka berempat celingak-celinguk. Nggak ada tanda apapun yang familiar. Tanahnya beda. Pohonnya beda. Nggak ada jalur kecil tempat mereka tadi jalan masuk.

“Waduh, jangan bilang kita muter-muter terus,” ujar Kien mulai panik.

“Tenang, kita masih bisa nelfon Yudas—eh….” Aruna cepat-cepat ngeluarin ponsel. Layar nyala, tapi bar sinyalnya kosong.

“Gue juga...” Fellora ngangkat HP-nya. Sama. Nggak ada jaringan.

“Kepung sama tower hantu apa gimana sih,” Defano berusaha becanda, tapi suaranya nyangkut di tenggorokan.

“Gimana kalo kita jalan lurus aja? Pasti nemu titik keluar,” kata Aruna, nyoba tetap tenang.

Mereka mulai jalan, pelan dan hati-hati, tiap langkah disorot pake senter. Tapi semakin jauh mereka jalan, suasana makin aneh. Langkah kaki mereka mulai bergema padahal tanahnya empuk. Kayak ada ruang kosong di bawah.

Kien tiba-tiba berhenti. “Eh, kalian denger suara itu gak?”

Semua langsung diem.

...sssshhhh... suara kayak napas panjang. Pelan. Lalu hilang.

“Angin doang kali,” ujar Defano sambil nelan ludah.

Tapi baru aja dia bilang gitu, suara ranting patah kedengeran... dari arah belakang mereka.

Mereka serempak noleh. Senter-senter langsung diarahkan.

Kosong.

Tapi kemudian, dari sudut mata, Aruna ngerasa ada yang lewat. Hitam. Cepat. Gak bisa dikenali.

“Ada yang gerak barusan di sana,” katanya pelan.

Fellora mulai merapat ke tengah, “Ini beneran udah gak lucu, Ru. Kita balik aja. Muter aja, biar butuh waktu lama, asal jangan ke dalem lagi.”

Mereka setuju, namun saat hendak berbalik badan... pohon-pohon yang tadi sudah mereka lewati berubah posisi. Jalur itu tidak ada lagi. Layaknya hilang, dan digantikan oleh hutan dengan formasi berbeda, lebih rapat, lebih gelap, lebih sesak.

Kien mulai gemetar, suaranya pecah, “Apa kita... nyasar di hutan yang bukan hutan?”

Sunyi. Angin berhenti. Bahkan suara binatang malam pun lenyap. Layaknya hutan yang sedang menahan napas.

Tiba-tiba, dari balik gelapnya pepohonan, ada yang muncul.

Bukan salah satu spesies binatang. 

Seorang pria paruh baya dengan pakaian khas pekebun mendekati mereka yang seperti anak yang di tinggalan oleh orang tuanya di tengah pasar, linglung itulah hawa yang terlihat dari parasnya. 

"Eh nak, kenapa sore sore bisa disini? bentar lagi udah jam 20.00 malem loh nak." Pria itu tersenyum ke arah mreka berempat. 

"Ouwh gini pak, tadi saya sama teman teman saya lagi nyari ranting buat api unggun, rasanya kami ngga pergi jauh dari tenda kami kok pak, tapi pas balik kami ngga ketemu jalan pulangnya lagi." Defano yang masih terlihat santai mencoba menjawab pertanyaan pria itu. 

"Bagaimana kalau kalian nginap di rumah saya dulu? Rumah saya di desa di dekat sini kok nak" Pria itu berjalan lebih dekat ke arah Kien yang tampak lelah, "Kalian yakin mau cari jalan ke arah tenda? Kasian loh kalian udah keliatan capek sekali." 

Defano tampak melihat ke arah teman temannya dengan raut bertanya. "Bapak ngga keberatan kalau saya dan teman teman saya nginap satu malem ini pak?" Aruna lebih dulu menjawab bapak itu. 

"Gapapa gapapa, ngapain keberatan malahan seneng saya dek. Di rumah ngga ada anak anak, cuma saya sama istri." 

Aruna melihat teman temannya dan mendapatkan anggungkan, pertanda mreka ingin. Disaat itu, mreka langsung mengikat bapak itu menuju rumahnya. 

Jalan yang awalnya terasa sesak, sudah lumayan lega, sudah lebih lebar jalannya dan sedikit pepohonan yang menandakan mreka akan sampai di permukiman warga. 

Benar saja, mreka langsung melihat gapura dari bambu bambu tua yang menjulang tinggi dengan di sisinya terdapat tanaman tanaman indah. 

Desa yang sangat indah, mreka yang baru pertama kali melihat desa itu, seperti berada di bawah alam sadarnya. 

"Kalian ke tempat kepada desa dulu ya, bapak anterin rumahmya ngga jauh dari sini kok" Sang pria paruh baya itu lanjut berjalan kearah dalam desa, semakin masuk semakin jauh, "Nah, rumahnya yang ini nak. Boleh bicara dulu sama kepala desanya ya." 

"Oh, baik pak, terimakasih banyak pak!" Defano menjawab dengan cepat ucapan pria itu. 

"Pak den! Pak Raden!" Pria itu memanggil sembari mengetuk pintar di hadapannya. 

Pak Raden, pria tua dengan senyum ramah dan jenggot putih tipis, membuka pintu. Aroma kayu manis dari dapurnya ikut terbawa angin malam. Ia memakai baju lurik dan celana panjang kain lusuh yang terlihat bersih dan rapi.

"Pak Jaka, ada apa malam-malam begini?" tanyanya dengan suara serak-serak empuk.

BAB 6 

"Pak Jaka, ada apa malam-malam begini?" tanyanya dengan suara serak-serak empuk.

Pak Jaka tersenyum dan menoleh ke keempat anak muda yang berdiri agak kikuk di belakangnya. "Ini lho, anak-anak pendaki. Mereka nyasar waktu nyari kayu. Mau nginep semalam aja di rumah saya. Boleh, Pak Raden?"

Pak Raden melirik Aruna, Kien, Defano, dan Fellora satu-satu. Tatapannya dalam, tapi bukan tajam. Lebih ke tatapan seorang kakek yang ngelihatin cucunya balik kampung.

"Nginep beberapa hari juga boleh kalau kalian butuh istirahat. Desa ini aman dan damai. Asal kalian sopan, kami juga senang ngebantu."

Aruna refleks menunduk sopan, "Terima kasih banyak, Pak."

"Gapapa. Lagipula, udah lama juga desa ini ngga kedatangan tamu muda-muda begini." Pak Raden tertawa kecil. "Kalian ikut Pak Jaka aja. Rumahnya nyaman kok."

Pak Jaka—yang ternyata nama lengkapnya Jaka Soni, atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Soni—langsung mengajak mereka menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Jalanan desa dipenuhi lampu minyak yang digantung di bambu-bambu, bikin suasana hangat dan kuno tapi damai.

Begitu sampai di depan rumah, pintunya langsung terbuka. Seorang wanita paruh baya, berselendang batik dan wajah berseri, langsung menyambut mereka.

"Pak, ini siapa?" tanyanya sambil menyeka tangannya yang masih basah bekas masak.

"Ini anak-anak pendaki. Mereka nyasar, dan mau nginep beberapa malam. Kita bantu ya, Bu."

"Wah, ya ampun. Masuk masuk! Pasti capek banget ya, Nak. Masuk dulu, nanti Ibu siapin teh panas sama ubi rebus ya."

Mereka semua langsung merasa kayak pulang ke rumah nenek. Sepatu mereka ditaruh rapi di teras, lalu masuk ke ruang tamu yang sederhana tapi bersih banget. Karpet anyaman pandan terhampar, dan ada banyak foto keluarga tergantung di dinding.

Fellora yang tadi tampak murung, akhirnya duduk sambil menarik napas pelan. Tampaknya perasannya masih tidak stabil untuk saat ini. 

"Silakan duduk dulu ya, Nak. Mau mandi air hangat? Atau istirahat aja dulu?" tanya Ibu Soni dengan senyum tulusnya.

"Mau mandi dulu deh, Bu, keringetan banget tadi nyari jalan," kata Kien, lemes tapi lega.

"Di belakang ada kamar mandi, airnya masih anget tuh. Pakai kayu bakar tadi sore."

Mereka semua gantian mandi, minum teh panas, dan makan camilan yang rasanya... kayak peluk dari rumah. Malam itu, mereka tidur di tempat terpisah, Aruna Fellora menempati kamar kecil di rumah pak Soni, sedangkan Defano dan Kien berada di sebelah kamar itu. Tidak seperti di rumah yang memakai kasur king size, tapi disini menggunakan kasur kapas, cukup membuat mreka nyaman dalam kelelahan ini. 

Pagi menyapa dengan cahaya matahari yang lembut, menembus tirai tipis rumah Pak Soni. Suara ayam berkokok terdengar samar, dan bau wangi nasi hangat bercampur aroma kayu bakar menguar dari dapur.

Aruna membuka matanya perlahan. Tapi tubuhnya berat. Sangat berat. Napasnya tersengal, keringat membanjiri kening, dan pandangannya sedikit buram.

"Aruna?" Kien duduk di sampingnya, matanya cemas. "Lu kenapa? Dingin banget, tapi keringetan..."

Defano yang baru keluar dari kamar mandi langsung ikut panik, "Eh, kenapa Aruna? Tadi malem dia baik-baik aja kan?"

Fellora, yang dari tadi diem dan ngerasa ada yang aneh sejak malam sebelumnya, langsung berdiri dan meletakkan tangan di dahi Aruna. "Gila… panas banget. Ini demam tinggi parah, Ki."

Pak Soni muncul di ambang pintu ruang tengah sambil bawa baki berisi teh dan ubi rebus. Tapi langkahnya langsung melambat waktu liat Aruna.

"Aruna demam, Pak," ujar Kien pelan.

Pak Soni hanya mengangguk pelan. “Mungkin karena capek dan udara malam di hutan, Nak. Istirahatkan saja dulu. Jangan kemana-mana hari ini.”

Defano berdiri gelisah. "Tapi kita harus balik ke tenda, Pak. Teman-teman lain mungkin nyariin kita."

"Tenang, tenda kalian pasti aman. Kalau kalian paksain jalan sekarang, apalagi dengan kondisi Aruna kayak gitu, bisa lebih parah." suara Pak Soni tenang, tapi ada nada yang... terlalu tenang.

Mereka akhirnya sepakat tinggal satu malam lagi. Aruna nggak bisa dibawa pergi dalam kondisi begini. Tapi saat Kien mencoba ngontak HP, sinyal masih nihil. Sama kayak kemarin.

Jam terus berjalan. Aruna makin pucat. Matanya kadang terbuka setengah, kadang gelap lagi. Tapi yang bikin makin aneh, dia mulai menggumam sesuatu...

"...jangan pergi dulu... jangan keluar..." bisikannya lirih.

Fellora yang duduk di sisi Aruna langsung menoleh ke Defano, matanya ketakutan. "Lu denger gak barusan?"

"Dia ngigau doang, Lor..."

"...dengerin... mereka di luar... nunggu kita keluar..."

semua langsung saling pandang. Kien berdiri dan mulai panik. "Gue gak suka ini. Kita harus cari bantuan dari desa. Minta pertolongan. Ini udah gak normal."

Pak Soni muncul lagi, kali ini berdiri agak jauh dari pintu ruang tamu. Senyumnya masih sama—lembut dan tenang. Terlalu tenang.

"Kalian jangan khawatir. Di desa ini, tidak ada yang akan mencelakai kalian."

Tapi entah kenapa, justru kata-kata itu yang bikin mereka makin ngerasa nggak aman.

BAB 7 

Tapi entah kenapa, justru kata-kata itu yang bikin mereka makin ngerasa nggak aman.

Mentari udah naik tinggi, tapi hawa dingin di desa itu masih menggigit. Kabut tipis masih melayang-layang di sekitar halaman rumah Pak Soni. Suara burung sesekali terdengar, tapi tetap aja... ada kesunyian yang terlalu rapi.

Pak Soni berdiri di depan rumah, bersiap membawa Defano dan Kien untuk mencari tanaman herbal buat Aruna.

"Di belakang bukit sana ada tempat tumbuh daun Jarak dan akar Sirung. Bisa bantu turunin demam kalau direbus," katanya sambil bawa keranjang rotan.

"Istri saya jagain Aruna. Tenang aja, dia tahu cara ngerawat orang sakit," tambahnya.

Fellora awalnya mau ikut, tapi akhirnya mutusin buat tinggal dulu di rumah. Dia ngerasa agak nggak tenang ninggalin Aruna sendirian, walau ada Bi Ratih di sana.

Waktu udah agak siangan, Fellora bawa mangkuk kecil berisi bubur ke kamar Aruna.

"Run, ayo makan dikit ya," katanya sambil duduk di sisi kasur gulung tempat Aruna berbaring. Nafas Aruna masih berat, matanya agak membuka, tapi kayak masih di antara sadar dan ngelindur.

Fellora baru aja nyuapin satu sendok, tapi tiba-tiba dia denger suara pelan dari arah dapur. Suara Pak Soni… dan Bi Ratih. Mereka lagi ngobrol. Tapi... nadanya beda.

Fellora nggak langsung denger jelas, tapi suara Bi Ratih makin naik. Lirih tapi penuh tekanan. Dia coba fokus dengerin, sambil pura-pura ngaduk bubur di mangkok.

“…mas… Ratih mohon… kasian liat Aruna seperti itu…”

deg.

Fellora mendongak perlahan. "Aruna?" bisiknya ke dirinya sendiri. Kenapa mereka nyebut nama temannya?

dia berdiri pelan, melangkah ke arah ruang tengah, tapi masih di balik tembok, nahan napas.

suara Pak Soni makin jelas, tapi lebih tenang.
“Semua ini perlu waktu. Kita sudah janji, Ratih. Mereka belum boleh pergi.”

Fellora mematung. Suara jantungnya sendiri mulai terdengar keras di telinganya.

“Aruna sudah cukup lemah. Kalau kamu terus ragu, kita kehilangan semuanya,” tambah Pak Soni, masih pelan… tapi tegas.

Fellora menggigit bibir. Ia nggak tahu apa maksud percakapan itu. Tapi sesuatu dalam dirinya mulai bilang, mereka harus keluar dari desa ini secepatnya.

Tiba-tiba—

“Fellora…”

Suara pelan, lemah… dari belakangnya.

Fellora langsung noleh. Aruna udah duduk, pucat dan masih lemas, tapi matanya terbuka. Tatapannya kosong, tapi langsung nyantol ke Fellora.

“…jangan tinggalin aku di sini.”

Fellora langsung balik ke kamar, panik. “Run? Lu kenapa? Gue nggak ninggalin kok.”

Aruna menatap lurus ke mata Fellora. Suaranya pelan banget, tapi jelas.

“Mereka bukan orang baik…”

Fellora nahan napas. “Mereka siapa, Run?”

Aruna nggak langsung jawab. Matanya tiba-tiba bergerak ke arah jendela kamar. Bibirnya bergerak lirih, “…mereka semua ngeliatin dari luar…”

Fellora refleks nengok ke jendela. Kosong. Tapi hawa dingin tiba-tiba masuk dari celah kayu jendela yang terbuka sedikit.

“Gue takut, Lor…”

BAB 8 
Fellora refleks nengok ke jendela. Kosong. Tapi hawa dingin tiba-tiba masuk dari celah kayu jendela yang terbuka sedikit.

“Gue takut, Lor…”

Fellora duduk bersila di samping Aruna yang masih terbaring. Wajah sahabatnya itu keliatan pucat, tapi matanya udah nggak kosong kayak tadi. Aruna ngelirik ke arah jendela, lalu pelan-pelan nutup matanya lagi, mungkin kelelahan.

Fellora menarik napas panjang, berusaha tetap tenang walau hatinya mulai ketarik ke jurang kecurigaan. Dia lalu pegang tangan Aruna dan mulai nyanyi pelan, suaranya bergetar tapi hangat:

🎵
“Aku tahu kamu hebat, kamu selamanya kan pasti berkutat...”
“Lewati semua yang berat…”
🎵

Aruna yang tadinya diam, pelan-pelan matanya berkaca-kaca.

Fellora senyum kecil, ngetap pipi Aruna pelan, “Ayoo Aruna, semangat dong besti... lu tuh nggak boleh sakit lemah gini... ntar siapa lagi yang cerewetin Defano sama Kien kalo bukan lu, hah?”

Aruna ngangguk pelan. “Makasih, Lor...”

“Pokoknya lu sembuh. Kalo ada yang aneh, bilang ke gue. Jangan tahan sendiri.”


---

Sementara itu, di sisi lain desa...

Kien dan Defano jalan beriringan di jalur setapak berbatu, diapit semak-semak dan kebun bambu yang menjulang.

Mereka ditemani seorang anak laki-laki kecil. Badannya kurus, pakai kaus lusuh dan celana pendek, umurnya mungkin sekitar kelas 2 SD. Namanya Bagas.

“Mas, daun Jarak sama akar Sirungnya di situ, deket sumur lama,” kata Bagas sambil nunjuk arah tikungan yang tertutup pohon tinggi.

Kien agak heran, “Lu hafal banget ya daerah sini?”

Bagas cuman ngangguk, tapi matanya nggak pernah ngeliat mereka lama-lama. Sejak dari rumah, anak itu cuma bicara seperlunya. Jalannya juga cepet banget, kayak udah biasa.

Defano ngedeketin Kien, nyodorin botol minum. “Nih minum dulu. Gila juga ya, anak sekecil itu udah apal hutan beginian.”

Kien ngangguk sambil ngeliat ke sekitar. “Gue juga aneh... ini desa kecil, tapi jalannya banyak, dan tiap jalan punya nama... padahal rumahnya dikit banget.”

Defano nyempilin daun Jarak ke keranjangnya. “Iya, tadi pas berangkat, gue liat jalan kecil yang dinamain ‘Jalan Pulang Tapi Buntu’... serem nggak sih?”

Kien langsung noleh ke Defano. “NAMA jalannya beneran gitu?”

“Iya. Ada papan kayu kecil tulisannya pudar.”

Kien diem. Dia ngelirik ke arah Bagas yang sekarang berdiri sambil nunggu mereka motong akar Sirung.

“Bagas... kalo ada orang dari luar yang masuk desa ini... terus ilang... biasanya ke mana ya?” tanya Kien setengah bercanda, setengah serius.

Bagas diem.

Lama.

Lalu pelan-pelan jawab, masih tanpa menatap mereka.

“Biasanya... nggak ke mana-mana.”

Kien dan Defano saling pandang.

“Lho, maksud kamu?”

Bagas nggak jawab. Dia malah jalan lagi sambil bilang, “Ayo, pulangnya lewat jalan yang beda aja ya, biar cepet.”

Setelah cukup banyak ngumpulin daun jarak dan akar sirung, Kien dan Defano ngangguk puas. Mereka berdua jalan pelan ngikutin Bagas yang udah duluan maju di depan, jalurnya sekarang lebih sempit, diapit bambu-bambu tinggi yang bunyinya nyiur gesekan angin.

tapi makin lama mereka jalan, hawa sekitarnya kerasa... beda.

angin berhenti. pepohonan jadi diem. suara burung, jangkrik, semuanya mendadak ilang.

Kien mulai merasa ada yang aneh. “Lu ngerasa nggak sih... ini hening banget?”

Defano ngangguk. “Iya. Tadi pas berangkat rame suara... sekarang sepi gini... serem banget cuy.”

Tapi yang paling bikin mereka ngerasa makin nggak tenang adalah... Bagas.

Langkah kakinya mulai berat. Dia nggak lincah kayak pas awal mereka pergi tadi. Bahunya turun, punggungnya agak bungkuk, jalannya kayak orang capek banget. Beberapa kali dia sempat berhenti dan ngusap keringat dari jidat.

“Bagas, lu gapapa?” tanya Kien.

Anak itu cuma noleh sebentar, senyum kecil. “Gapapa, Mas. Biasanya juga bantu Ibu di sawah dari pagi.”

Defano geleng pelan. “Pantesan... masih kecil tapi udah kerja segitu keras.”

perjalanan lanjut, tapi kali ini mereka bertiga diem. nggak ada yang mau nyentuh topik-topik aneh. suasananya udah cukup janggal.

Begitu mereka mulai liat bentuk atap-atap rumah warga dari kejauhan, Bagas tiba-tiba berhenti. dia noleh ke belakang, ngeliat Kien dan Defano satu-satu. Wajahnya lebih serius dari tadi.

“Mas...,” suaranya pelan tapi tegas.

“Bahasanya kalau di sini... tolong dijaga ya.”

Kien dan Defano saling pandang.

Bagas lanjut ngomong sambil ngeliatin tanah, “Saya nggak mau mas kenapa-kenapa…”

abis ngomong gitu, dia langsung ngelangkah lebih cepet. Nggak lari sih, tapi ada dorongan kayak "udah, cepetan pulang".

Kien narik lengan Defano, pelan-pelan, “Lu denger tadi?”

“Banget,” bisik Defano. “Dia ngomong kayak... dia udah pernah liat yang kenapa-napa itu.”

mereka berdua langsung ngikutin langkah Bagas, nggak banyak omong. rumah warga mulai keliatan jelas, dan akhirnya mereka ngeliat halaman rumah Pak Soni dan Bi Ratih. Rumah itu masih kelihatan tenang, tapi sekarang entah kenapa, ada bayangan yang berbeda. Kayak rumah itu nyimpen sesuatu yang ditahan dari luar.

Pas udah deket, Bagas berhenti di depan gerbang.

“Sampai sini ya, Mas,” katanya pelan.

Kien ngangguk. “Makasih, Gas. Lu bantu banget.”

Bagas cuman tersenyum kecil. Tapi sebelum pergi, dia bilang satu hal lagi.

“Jangan keluar malam ini ya, Mas... apalagi kalau denger suara dipanggil-panggil dari luar…”

tanpa nunggu jawaban, Bagas langsung pergi, ngilang di balik bayang-bayang gang kecil samping rumah tetangga.

Defano nahan napas. “Lu denger itu juga, kan?”

Kien cuma ngangguk pelan. “Gue makin gak yakin tempat ini beneran aman.”

mereka akhirnya masuk pelan ke rumah itu, dan langsung ketemu Fellora di dalam.

“Ayo, buru, Aruna udah nunggu,” kata Fellora cepat. Tapi matanya... keliatan menyimpan sesuatu juga.

BAB 9
Ayo, buru, Aruna udah nunggu,” kata Fellora cepat. Tapi matanya... keliatan menyimpan sesuatu juga.

Keesokan paginya...

Aruna masih pucat. Meski demamnya udah turun sedikit, Bi Ratih tetap keliatan khawatir. Setelah berdiskusi sama Pak Soni, mereka akhirnya sepakat buat bawa Aruna ke bidan desa.

“Dek, kita ke rumah Bu Warti aja ya... beliau bidan di sini. Tempatnya deket kok,” ucap Bi Ratih lembut, tapi sorot matanya nunjukin kekhawatiran yang nyempil di balik senyum.

Perjalanan ke sana nggak jauh, cuma beberapa menit jalan kaki. Rumah bidan itu berdiri agak terpisah dari rumah-rumah lain. Bangunannya dari kayu tua yang masih terawat, dengan jendela kaca patri dan atap genteng merah legam. Di depan rumah, ada tulisan kecil: Puskesmas Pembantu Dusun Watu Banyu.

Pas masuk, suasananya langsung beda. Aroma rempah dan obat tradisional menyelimuti ruangan. Meja periksa dari kayu jati, lemari obat dari besi tua tapi kokoh. Semuanya terlihat antik, jadul, tapi bersih dan... mahal. Kaya bukan puskesmas biasa. Di dinding, foto-foto hitam putih orang-orang terdahulu tergantung rapi.

“Selamat pagi,” sambut Bu Warti, perempuan paruh baya dengan pakaian tradisional kebaya warna biru gelap. Suaranya lembut, tangannya cekatan. Ia langsung memeriksa Aruna dengan teliti.

“Demamnya ada pola, ini bukan flu biasa,” ucapnya pelan, “Tapi tenang saja, di sini kami terbiasa menangani yang seperti ini.”

“Seperti ini?” tanya Fellora hati-hati.

Bu Warti hanya tersenyum, lalu menuliskan sesuatu di buku catatan yang udah mulai menguning.


---

Selama beberapa hari berikutnya...

Aruna dirawat di rumah bidan. Demamnya naik turun, tapi ia nggak pernah mengigau aneh atau pingsan. Hanya saja, tiap sore mendekati malam, ia selalu meminta jendela ditutup rapat dan tirai diturunkan.

Di saat yang sama, desa juga berubah.

Siang hari, desa itu keliatan damai banget. Anak-anak main lompat tali, ibu-ibu ngobrol sambil ngerajut, dan para pria kerja di sawah. Semuanya tampak terlalu normal.

Tapi pas senja datang...

...sunyi.

nggak ada suara. bahkan jangkrik pun kayak mingkem.

dan tiap malam, selalu ada momen di mana Pak Soni pamit keluar rumah. Nggak pernah bilang ke mana, cuma bilang, “Mau tengok ladang sebentar.” Aneh, karena malam-malam begitu siapa juga yang nengok ladang?

Sementara itu, Bi Ratih selalu ngedesak Kien, Defano, dan Fellora buat tidur lebih cepat.

“Ayo nak, istirahat. Di sini malam itu nggak baik buat anak muda, udara bisa bikin kalian jatuh sakit,” katanya setiap malam.


---

Untuk mengisi waktu selama Aruna dirawat...

Fellora bantu Bi Ratih bikin kue beras. Kegiatan itu awalnya sederhana, tapi lama-lama jadi kayak terapi buat Fellora.

“Mba, ini pakai santan yang baru diperas ya?” tanya Fellora sambil ngaduk adonan di tampah besar.

“Iya, tapi perasannya harus pas... kalau terlalu encer, rasanya pahit,” jawab Bi Ratih dengan senyum tenang.

Ada kehangatan di dapur itu, tapi sesekali Fellora menangkap tatapan Bi Ratih yang kayak... sedih tapi pasrah.


---

Sementara itu, Kien dan Defano tiap pagi diajak Pak Soni ke ladang.

Di sana, mereka belajar metik hasil panen, bawa karung, sampai bantuin bersihin irigasi kecil. Ladangnya luas, tapi nggak keliatan banyak pekerja.

“Biasanya warga bantu panen bareng, tapi beberapa hari ini... pada nggak bisa,” kata Pak Soni sambil ngelap keringat.

“Ada acara ya, Pak?” tanya Kien.

Pak Soni senyum kecil. “Bisa dibilang begitu.”

Setiap kali mereka mau tanya lebih lanjut, pasti topiknya dialihin. Tapi ada satu hal yang bikin mereka sadar: setiap jalanan dan ladang di desa itu selalu bersih. Nggak ada satu pun daun kering.
Padahal pohon banyak.

BAB 10 
Setiap kali mereka mau tanya lebih lanjut, pasti topiknya dialihin. Tapi ada satu hal yang bikin mereka sadar: setiap jalanan dan ladang di desa itu selalu bersih. Nggak ada satu pun daun kering.
Padahal pohon banyak.

Aruna mulai bisa duduk. Walau wajahnya masih pucat dan tubuhnya lemas, setidaknya dia nggak demam parah lagi. Bu Warti bilang, “Kalau besok kuat berdiri, kalian udah bisa bawa dia pulang ke kota.”

Tapi... ada satu hal yang aneh: Aruna mulai sering terdiam lama sambil liatin jendela.

Waktu ditanya Fellora, dia cuma jawab, “Nggak apa-apa, gue cuma ngeliat anak kecil lari-lari tadi.”

Padahal... di luar kosong. Nggak ada siapa-siapa.

Fellora nggak langsung panik, tapi dari caranya Aruna ngomong... itu bukan bercanda. Pandangannya kosong tapi matanya nggak bohong.

Seperti biasa, Bi Ratih nyuruh mereka tidur lebih awal. Tapi malam itu, suara di luar rumah terdengar lebih rame dari biasanya. Ada bisik-bisik samar, kayak banyak orang lagi berkumpul.

Kien ngintip dari celah jendela.

“De, sumpah ya... itu di bawah pohon beringin dekat lapangan desa... ada yang ngelilingin api unggun,” bisiknya ke Defano.

“Siapa? Warga?”

“Entahlah. Tapi mereka diem aja. Berdiri melingkar. Gak ngapa-ngapain. Kayak... upacara?”

Defano langsung nyeret Kien dari jendela. “Lu mau diliatin balik? Tutup!”

Fellora, yang denger suara langkah, buka pintu kamarnya. “Lu berdua ngapain?”

“Liat ‘api unggun’...,” gumam Kien.

Fellora sempat mau ngintip juga, tapi langkah kaki berat di lorong rumah langsung bikin mereka bertiga balik badan. Dari ruang depan, Pak Soni baru pulang.

Tapi wajahnya beda.

Mukanya keringetan, matanya merah kayak abis nangis atau... abis liat sesuatu yang nguras batin. Tanpa ngucap sepatah kata pun, dia masuk kamar. Bi Ratih langsung nyusul, nutup pintu rapat.

Suaranya gak keras, tapi dari dalam, mereka bertiga sempat denger samar-samar:

“Mas… aku mohon… kita cukup bantu satu aja ya mas… liat temen-temennya udah akrab semua…”

Diam.

“Mas… Ratih mohon… kasihan liat Aruna kayak gitu…”

Deg.

Fellora langsung noleh ke arah kamar Aruna.

Aruna ternyata bangun. Berdiri di depan pintu kamarnya sendiri sambil nyender.

“Lo denger juga?” tanya Aruna pelan ke Fellora. Suaranya lemah tapi matanya tajam. “Mereka ngomongin gue, ya?”

Fellora buru-buru ngedeketin Aruna, megang lengannya pelan. “Enggak, Aru… lo istirahat aja, jangan mikir macem-macem…”

“Gue denger,” Aruna balas, masih lemah. “Bik Ratih bilang... ‘kasihan liat Aruna kayak gitu’... maksudnya apa?”

Fellora langsung rangkul dia pelan. “Udah... besti gua yang hebat harus sembuh dulu. Jangan lemah gini. Aruna tuh kuat, ngerti? Sumpah, kalo lo tumbang, yang lain juga ikut jatuh…”

Dia pelan-pelan nyanyiin lagu nina-nina dari handphone-nya, suara kecil:
“Aku tahu kamu hebat... kamu selamanya kan pasti berkutat…”

Aruna ketawa kecil, matanya berkaca. “Fell… lo drama banget…”

“Diem lo. Ini momen sinetron,” jawab Fellora sambil senyum, berusaha nyembunyiin kecemasannya sendiri.

Kien dan Defano bantu Pak Soni ke ladang lagi. Tapi perjalanan kali ini beda.

Jalan tanah yang biasanya dilalui warga, sekarang penuh bekas tapak kaki yang dalam. Tapi bukan tapak biasa. Besar. Lebar. Lebih dari ukuran manusia.

Pak Soni masih seperti biasa: tenang, sopan, tersenyum, tapi terlalu pendiam.

“Pak, semalam rame ya di lapangan? Kami liat api unggun dari jauh,” kata Kien pelan.

Pak Soni hanya jawab pendek, “Oh... ya. Acara warga.”

“Sering ada begituan, Pak?” tanya Defano.

Pak Soni hanya menoleh sebentar, senyumnya makin tipis. “Di desa ini... semua punya caranya masing-masing buat bertahan.”

Defano dan Kien nggak nanya lagi. Mereka berdua diam, tapi masing-masing mulai mikir: *bertahan dari apa...?*

Di rumah, Fellora bantu Bi Ratih bikin kue lagi. Tapi kali ini, Bi Ratih lebih banyak diam.

“Bi... aku boleh jujur?” tanya Fellora pelan.

Bi Ratih cuma menatapnya. Nggak menjawab, tapi seolah mengizinkan.

“Aku ngerasa... desa ini nggak seperti yang kelihatan.”

Bi Ratih melanjutkan ngadon tanpa menatapnya. “Kadang... yang kelihatan tenang, justru karena semua orang di dalamnya nahan sesuatu, Nak…”

Fellora ngerasa bulu kuduknya berdiri. Tapi sebelum sempat nanya lebih jauh, suara ketukan keras dari luar rumah bikin mereka semua berhenti.

TUK TUK TUK.

Dan suara seorang anak kecil dari luar rumah...
“Pak Soni, ini udah waktunya...”

BAB 11 
Dan suara seorang anak kecil dari luar rumah...
“Pak Soni, ini udah waktunya...”

Kien dan Defano ngikutin Pak Soni yang jalan lebih cepat dari biasanya. Mereka udah agak jauh dari rumah warga, masuk ke area ladang yang di pinggirnya banyak pepohonan lebat. Suasana berubah... angin berhenti, dan suara alam terasa disenyapkan oleh sesuatu yang nggak keliatan.

Mereka terus jalan... sampai akhirnya Kien ngerem langkahnya.

“Fan... lu liat itu gak?” bisiknya.

Di balik semak dan pepohonan lebat, samar-samar mereka liat sekelompok orang berdiri melingkar. Di tengahnya, ada seorang remaja cowok—kira-kira seumuran mereka—badannya diikat ke pohon besar. Dia meronta, berusaha lepas, tapi ikatan di tubuhnya kuat banget. Tangannya gemetar, wajahnya penuh ketakutan.

Orang tuanya ada di sana juga. Ibunya nangis sambil sujud di kaki seseorang—Pak Raden.

“Pak... ampun, tolong jangan anak saya... kami sanggup bayar apa aja, asal dia jangan dibawa...” isaknya.

Tapi Pak Raden hanya berdiri diam, menatap tanpa ekspresi.

“Sudah bu. Ini bagian dari kesepakatan,” ucap Pak Raden datar.

Ayah si anak mencoba narik lengan Pak Raden, tapi langsung ditarik mundur oleh dua orang warga lainnya. Suara jeritan si anak makin keras.

“Gue gak mau! Jangan serahin gue! Gue gak mau kayak yang kemarin! GUE GAK MAUUU!!”

Kien dan Defano nahan napas. Mata mereka membelalak, bingung harus ngapain. Jantung mereka berdetak makin kencang.

“...Nanti malam kita serahkan,” kata salah satu warga. “Biar tenang satu tahun lagi.”

“Siapkan altar. Jangan sampai ada yang lihat,” suara Pak Soni terdengar pelan, tapi jelas.

Itu cukup buat Defano narik lengan Kien dan langsung ngajak mundur pelan-pelan. Tapi ranting kecil yang mereka injak patah—KRAK!

Suara itu langsung nyaring banget di heningnya suasana.

Kien dan Defano nahan napas, saling liat. Tapi nggak ada yang nyamperin mereka. Suasana tetap tegang, tapi nggak ada tanda-tanda mereka ketahuan.

“Cepet, balik,” bisik Defano.

Mereka langsung putar balik dan lari secepat-cepatnya ke arah rumah Bi Ratih. Nafas mereka ngos-ngosan, langkah panik, dan wajah mereka udah nggak bisa sembunyiin rasa takut.

Mereka sampe di rumah Bi Ratih, langsung masuk dengan napas masih berat. Fellora yang lagi bantu Bi Ratih masak kue langsung nengok.

“Kalian kenapa?! Mukanya pucet banget!”

Kien cuma bisa duduk di lantai, mencoba ngatur napas. “Fell... fell... kita liat sesuatu...”

Defano ngelanjutin, “Mereka... mereka iket anak, orang tuanya mohon-mohon... dan Pak Soni... Pak Raden... semua diem aja... mereka bilang anak itu bakal diserahin malam ini...”

Bi Ratih langsung berhenti ngaduk adonan. Wajahnya berubah. Matanya liat ke luar jendela sebentar, lalu balik ke arah mereka.

“Ayo masuk... jangan di ruang depan. Kita bicara pelan-pelan di dapur aja…”

Aruna mulai ikut nimbrung ke ruang tengah. Dia udah bisa jalan pelan, meski langkahnya masih berat. Tapi sorot matanya udah nggak kosong lagi—lebih tajam. Lebih sadar. Dan yang paling penting, dia udah mulai nanya-nanya.

“Fell, semalem beneran ada yang ngumpul di bawah pohon beringin?”

Fellora, yang lagi bantu Bi Ratih di dapur, ngangguk pelan. “Iya. Kien sama Defano yang liat. Katanya kayak... upacara atau semacamnya.”

Aruna duduk di kursi panjang, narik napas dalam. “Gue ngerasa... ada yang nggak beres. Bahkan sebelum gue sakit, gue udah ngerasa kayak diawasin.”

Bi Ratih yang lagi motong daun pandan tiba-tiba berhenti. Diam sejenak. Lalu tanpa menoleh, dia pelan-pelan ngomong, “Kalian memang peka...”

Mereka bertiga langsung saling pandang. Fellora pelan-pelan mendekat ke Bi Ratih. “Bi... boleh jujur sekarang?”

Bi Ratih masih nggak menatap mereka. Tangannya sibuk, tapi suaranya terdengar lirih, seperti bisikan yang udah lama ditahan.

“Dulu... desa ini biasa aja. Tapi sejak kejadian di tanah belakang, semuanya berubah.”

“Kejadian apa, Bi?” Aruna langsung nanya.

“Waktu kecil... aku pernah lihat sendiri. Seseorang... diambil. Dibawa. Tapi bukan sama manusia.”

Fellora langsung nahan napas. “Dibawa siapa, Bi?”

Bi Ratih nggak jawab. Dia cuma nunduk, potongan daun pandan udah berantakan.

“Pak Raden yang tau semua. Tapi nggak semua warga setuju. Ada yang ikut... ada yang cuma pura-pura nggak tau,” lanjut Bi Ratih pelan. “Pak Soni... ya, dia ikut karena nggak punya pilihan.”

Aruna nekan pertanyaannya, “Ikut apa? Ritual?”

Bi Ratih mendekat ke mereka, suara makin pelan. “Aku nggak bisa cerita semuanya. Nanti... kalian bakal liat sendiri. Tapi percaya sama aku…”

Dia tatap mereka satu-satu, terutama Aruna.

“Kalian tenang aja. Bibik bakal selalu bantu kalian. Tapi sayangnya...”

Dia menarik napas dalam dan menunduk, suaranya makin berat.

“...kalian memang nggak bisa keluar dari desa ini sebelum dia izinin.”

BAB 12 
“...kalian memang nggak bisa keluar dari desa ini sebelum dia izinin.”

Mreka ingin sekali melanjutkan topik ini, tapi sepertinya keadaan bik Ratih sangat amat tidak mendukung. Yang membuat mreka lebih memilih membahas bagaimana jika mreka balik ke kota. 

Aruna yang masih senantiasa duduk di karpet bewarna merah hijau itu mulai bersuara, "gimana ya, kabar keluarga kita di kota? Atau para pendaki lain ngga lanjutin mendaki karna kita hilang ya?" 

"Hahaha! kaya nya mreka cari kita ngga si? atau malah, lanjutin perjalanan TANPA KITA!?" Fellora menjawab ucapan Aruna dengan nada kaget di akhir kalimatnya. 

"astaga nak! ngga usah khawatir, mreka pasti khawatir tapi kalian aman kok disini buat sementara waktu sama bibi." Bi Ratih memenangkan kedua teman itu, sebelum suaranya makin heboh. 

Beberapa hari setelah itu, suasana rumah Pak Soni dan Bi Ratih mulai lebih hangat. Aruna udah bisa jalan dan senyum lagi, walaupun sesekali masih kelihatan linglung. Buat mastiin semuanya tetap waras, mereka sering jalan-jalan ke sekitar desa.

Di sinilah mereka ketemu dua orang muda yang beda dari warga lainnya: Arum dan Arden.

Arum, gadis desa yang ceria dan cerewet, punya senyum lebar yang langsung bikin nyaman. Sedangkan Arden, temannya, cowok desa yang kalem tapi gampang diajak ngobrol. Mereka sering bantuin orang tuanya di sawah, tapi selalu sempatin waktu main bareng.

Pertemanan mereka berlima langsung klop. Arum ngajarin Fellora dan Aruna cara bikin bunga dari daun kelapa. Arden ngajak Kien dan Defano mancing di sungai kecil. Malam harinya, mereka kadang ngumpul di bale bambu depan rumah Bi Ratih buat main tebak-tebakan atau cerita horor lokal (yang seringnya malah jadi lucu karena Arum terlalu ekspresif).

Bahkan Bi Ratih dan Pak Soni keliatan senang anak-anak kota ini mulai nyaman di desa. Pak Soni bilang, “Kalian beruntung bisa ketemu Arum dan Arden. Mereka anak baik.”

Dan itu bener. Arum selalu bawa cemilan tiap main ke rumah. Arden kadang bantuin ambilin air dari sumur. Mereka ngobrol soal mimpi, sekolah, dan kadang hal-hal remeh kayak siapa paling jago main congklak.

Nggak ada kecurigaan. Nggak ada tanda-tanda aneh dari dua sahabat baru ini. Justru sebaliknya, kehadiran Arum dan Arden kayak nafas segar. Tempat aman di tengah desa yang makin hari makin penuh tanda tanya.

Tapi, seperti semua yang terasa terlalu nyaman... selalu ada bayangan di balik terang.

Aruna udah mulai bener-bener pulih. Walau belum bisa lari-larian, tapi dia udah bisa ikut bantu-bantu di dapur bareng Bi Ratih, duduk di bangku panjang sambil motong daun pisang atau nyiapin adonan kue beras. Fellora selalu di sebelahnya, kadang nyanyi, kadang ngelawak biar Aruna semangat.

Hari-hari di desa jadi terasa hangat. Bukan karena mereka lupa sama kejadian aneh sebelumnya, tapi karena dua orang baru muncul dalam hidup mereka: Arum dan Arden.

Arum gadis desa yang ramah banget. Senyumnya kayak matahari pagi, selalu bikin nyaman. Dia pinter masak, suka ngajarin Fellora dan Aruna bikin makanan khas desa. Kadang mereka duduk di pinggir sungai sambil ngobrolin langit dan mimpi.

Arden beda lagi. Pendiam, tapi punya aura yang kalem dan bikin penasaran. Dia sering nemenin Kien dan Defano bantuin Pak Soni ke ladang. Nggak banyak ngomong, tapi kalo ditanya, jawabannya selalu bikin mikir. Arden juga yang pertama ngajarin Defano bikin alat perangkap burung dari bambu.

Mereka berenam jadi dekat. Kayak udah temenan dari kecil. Main bareng di sawah, bikin layangan dari daun kelapa, atau sekadar duduk di pinggiran jalan desa sambil makan ubi bakar.

Kadang malam, mereka ngumpul di belakang rumah Bi Ratih, bikin api kecil, nyanyi-nyanyi bareng, cerita hal-hal random dari kota, dari desa, dari mana aja. Arum dan Arden selalu antusias dengerin, ketawa paling kenceng kalo Defano mulai ngelucu atau Kien sok jadi motivator dadakan.

Nggak ada rasa curiga. Nggak ada yang aneh. Mereka cuma anak-anak muda yang lagi nikmatin hari-hari di desa asing yang tenang... terlalu tenang.

Tapi tenang bukan berarti nggak menyimpan sesuatu di baliknya.

Pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, tapi suara anak-anak kecil di halaman rumah warga sudah ramai terdengar. Aruna duduk di beranda sambil mengikat rambutnya, senyumnya mulai pulih. “Gue pengen bantuin Bi Ratih ah, masa gue mulu yang diurusin,” katanya sambil bangkit.

Fellora langsung nyaut, “Ya udah, kita bareng, gue juga belum mandi biar sekalian cebur ke sumur, nyegerin otak.”

Mereka bertiga—Aruna, Fellora, dan Defano—menyusul Kien yang udah duluan ke rumah Bi Ratih. Hari itu, mereka memang nggak ke ladang. Tapi bukan berarti mereka nganggur. Arden dan Arum udah nunggu mereka di depan rumah dengan keranjang bambu masing-masing.

“Pagi!” sapa Arum riang, senyumnya selalu cerah kayak pagi yang belum diselimuti rahasia.

“Yuk bantuin Bibi ngambil daun pisang dulu buat bungkus kue,” tambah Arden sambil nyodorin satu keranjang kosong ke Aruna.

“Siap, bos!” jawab Aruna dengan semangat.

Hari itu, mereka berjalan ramai-ramai ke belakang desa. Melewati kebun pisang, pinggir sungai kecil, dan ladang-ladang sunyi yang sekarang nggak terasa menyeramkan lagi. Mereka tertawa, saling tukar cerita, bahkan sampai lomba lempar batu ke air.

Siang itu, setelah semua daun pisang terkumpul, mereka duduk di pinggir sungai. Arum gulung celana batiknya sampai lutut, mainin air sambil nyanyi lagu daerah yang cuma dia yang hafal liriknya. Aruna ikut nyanyi asal-asalan, bikin semuanya ketawa.

“Lu nyanyinya kayak baca mantra,” kata Kien sambil nyipratin air ke Defano.

“Woy! Basah baju gua!” Defano langsung balas nyiprat, sampai Arden harus mundur beberapa langkah, nyelametin keranjangnya.

Mereka main sampai sore. Lupa waktu. Lupa kecemasan. Dan untuk pertama kalinya, sejak kejadian aneh itu semua dimulai... mereka bisa tertawa tanpa rasa takut.

Ketika langit mulai jingga, Arum ngajak pulang. “Nanti malam kita ngumpul di bale, ya. Biasanya malam-malam begini orang desa pada duduk bareng sambil dengerin cerita dari Pak Raden.”

“Cerita apa?” tanya Fellora penasaran.

“Cerita-cerita lama... tentang desa ini,” jawab Arden santai. “Yang seru-seru. Kadang ada yang horor juga, tapi lebih ke cerita rakyat gitu.”

Aruna noleh ke yang lain. “Gimana? Kita ikut nggak?”

Mereka saling pandang.

Dan entah kenapa... nggak ada yang keberatan.

Karena malam itu, untuk pertama kalinya, mereka merasa desa ini bukan cuma tempat asing yang mereka kunjungi...

Tapi mulai terasa seperti tempat yang mereka kenal.

BAB 13 Hening yang Tak Biasa
Tapi mulai terasa seperti tempat yang mereka kenal.

Malam pun tiba.

Bale desa mulai ramai. Lampu petromaks menyala di beberapa sudut, mengusir kegelapan yang mulai turun perlahan dari atas bukit. Anak-anak duduk di tikar, remaja dan orang tua ikut mengelilingi bagian tengah di mana Pak Raden duduk tenang, mengenakan sarung dan ikat kepala.

Aruna, Fellora, Kien, dan Defano ikut duduk di samping Arum dan Arden. Suasana hangat, santai, dan penuh tawa. Tidak ada tanda-tanda sesuatu yang ganjil. Hanya suara jangkrik, canda anak-anak kecil, dan cerita ringan dari Pak Raden yang membahas masa kecilnya—tentang bagaimana dulu dia nakal manjat pohon jambu, atau nyaris nyemplung ke sawah karena dikejar angsa.

“Dulu, Arden juga pernah aku ajarin nyolong jambu... tapi dia malah nyangkut di pagar, ketahuan ibunya!” cerita Pak Raden sambil tertawa keras. Semua ikut ketawa, termasuk Arden yang mukanya merah malu tapi ikut ngakak juga.

Cerita demi cerita mengalir. Tentang permainan tradisional desa, tentang lomba balap karung tiap tahun baru, dan bahkan tentang nasi jagung terenak di ujung desa yang katanya bisa bikin jatuh cinta.

Anak-anak kecil kemudian main kejar-kejaran di sekitar bale. Beberapa orang dewasa menyuguhkan teh manis dan kue beras. Aruna dan yang lain ikut nimbrung, main bareng dengan warga, tertawa, menyanyi, bahkan Arum ngajarin Fellora main congklak pakai biji saga.

Suasana benar-benar seperti kampung halaman.

Lalu, ketika malam makin larut dan orang-orang mulai bubar, Kien berdiri. Dia menatap ke arah langit gelap, bintang-bintang yang bersinar terlalu terang untuk desa sekecil ini, dan bertanya pelan:

“Pak Raden... boleh nanya nggak?”

Pak Raden berhenti merapikan tikar, menoleh dengan senyum tipis. “Tanya aja, Nak.”

“Kapan ya... kami bisa pulang?”

Hening.

Semua tiba-tiba diam. Senyum Pak Raden tak berubah... tapi matanya tampak lebih dalam. Lebih dingin. Sejenak tak ada jawaban. Bahkan suara jangkrik seperti berhenti.

Tatapan Pak Raden berubah. “Kenapa buru-buru pulang? Kurang betah di sini?”

Nada suaranya datar, tapi tajam. Nggak marah, tapi bukan juga bersahabat. Kien jadi kikuk, bahkan Defano dan Aruna ikut diam. Fellora melirik Arum, yang cepat-cepat berdiri sambil nyengir paksa.

“Eh, udah malem nih! Yuk yuk pulang, besok kita masih ada kerjaan bareng Bi Ratih, ya kan?” katanya ceria, terlalu ceria.

Arden langsung bantu nutup percakapan. “Iya, ayo. Nanti disangka numpang ngobrol doang sama warga,” candanya sambil dorong halus Aruna dan Kien buat jalan duluan.

Mereka semua nurut. Tapi waktu jalan balik ke rumah Bi Ratih, nggak ada yang ngomong.

Langkah mereka pelan. Suara malam kembali terdengar, tapi kali ini... hangatnya sedikit berkurang.

Dan Kien sadar satu hal:

Di balik senyum orang-orang desa ini, selalu ada sesuatu yang nggak mereka bilang dengan kata-kata.

Sore itu, mereka tetap pergi ke sungai. Arum bawa beberapa bilah bambu yang udah dipotong kecil-kecil, dan Arden bawa tali serat pohon yang udah dikeringin. Di sepanjang jalan, mereka ngobrol ringan. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa ditunjuk dengan jelas—sesuatu yang bikin hati Aruna agak berat.

Kien sempat bisik ke Defano waktu mereka udah duduk di pinggir sungai, “Tadi gue ngeliat ada kain putih tersangkut di atas pohon kelapa belakang rumah Bi Ratih. Tapi pas gue liat lagi, ilang.”

Defano cuma nengok cepat dan bisik pelan, “Jangan bilang siapa-siapa dulu, ya. Gue juga ngerasa ada yang aneh…”

Tapi suasana kembali pecah waktu Arum ngajarin Aruna cara menganyam. Mereka ketawa waktu Aruna nyaris bikin keranjang bentuknya malah kayak topi. Arden juga sempat ngelemparin air ke Kien, bikin semuanya lari-lari kejaran di sungai.

Sejenak, sore itu terasa hangat. Normal.

Tapi waktu pulang, langit mendadak murung. Angin berhenti bergerak, dan suara jangkrik muncul terlalu cepat, padahal matahari belum benar-benar tenggelam.

Dan di tengah keheningan itu, Kien yang jalan paling belakang tiba-tiba bertanya lirih, “Kapan ya kita bisa pulang?”

Seketika, langkah Arden terhenti. Dia diam.

“Arden?” tanya Aruna pelan.

Arden berbalik, wajahnya menegang. “Kenapa nanya kayak gitu?”

Kien kaget. “Eh, enggak... cuma nanya aja.”

Arden melangkah maju, agak cepat. “Jangan ditanya-tanya. Nikmatin aja di sini. Warga udah baik, kalian juga aman. Ngapain pengen cepet pulang?”

Nada suaranya naik. Membuat semuanya terdiam.

Tapi sebelum suasana makin tegang, Arum nyelip ke tengah-tengah mereka dan nyengir, “Eh, nanti sore kita masak bareng yuk! Gue mau ajarin bikin sayur lompong khas sini!”

Dia narik tangan Aruna dan Fellora, lalu jalan duluan sambil nyanyi kecil.

Dan begitu saja, pertanyaan Kien tenggelam. Tapi perasaan itu… rasa nggak enak, mulai tumbuh. Pelan-pelan.

BAB 14 Pancingan yang Bukan Sekadar Umpan
Dan begitu saja, pertanyaan Kien tenggelam. Tapi perasaan itu… rasa nggak enak, mulai tumbuh. Pelan-pelan. 

Malam itu kamar Aruna dan Fellora remang, hanya ditemani cahaya lampu minyak kecil di sudut ruangan. Kien dan Defano duduk bersila di lantai sambil ngemil ubi rebus yang disisain Bi Ratih tadi sore.

“Gue mikir deh... kenapa desa ini kayak punya aturan yang nggak bisa dilanggar ya?” bisik Aruna, suaranya pelan tapi dalem.

Fellora ngangguk. “Iya, kayak semua orang tuh ramah… tapi juga nutupin sesuatu. Tapi apa, ya?”

Defano nyender ke dinding. “Mereka kayak takut sama sesuatu. Kayak… bukan cuma takut sama orang, tapi sama sesuatu yang... lebih gede.”

Kien garuk kepala. “Tapi tiap kali kita tanya, mereka selalu ngelak. Kayak tadi Arden ngomong soal pohon beringin itu... langsung ngeles.”

Hening sejenak.

“Kalau ada sesuatu yang dijaga banget di desa ini... apa kita harus cari tahu?” tanya Fellora pelan.

“Nggak tau. Tapi rasa penasaran itu nyiksa juga,” jawab Aruna, sambil narik selimut pelan.

“Besok kita ikut Arum sama Arden lagi, ya?” kata Kien.

“Ikut dong,” sahut Defano. “Siapa tahu ketemu jawabannya pelan-pelan.”

Dan malam itu mereka tertidur dengan kepala penuh tanda tanya, tapi tanpa tahu kalau esok harinya... jawaban yang mereka cari bakal datang dengan cara yang nggak mereka harapkan.

Pagi itu langit cerah. Matahari naik pelan, tapi sinarnya nggak terlalu hangat. Aruna dan teman-temannya bergegas setelah sarapan bareng Bi Ratih. Arum dan Arden udah nunggu di depan sambil bawa ember dan joran dari bambu.

“Hari ini kita mancing yaa, ikannya biasanya ngumpul di pinggir sungai!” seru Arum sambil jalan cepat.

Perjalanan ke sungai itu seru. Mereka ketawa-tawa, ngobrol soal siapa yang paling jago mancing. Arden cerita soal anak desa yang pernah dapet ikan besar banget, sementara Defano nggak henti-hentinya ngelawak soal umpan yang dia bawa—cuma roti basi dari Bi Ratih.

Setelah sampai di pinggir sungai, mereka langsung duduk di atas bebatuan. Arum dan Arden bantuin nyiapin umpan dan benang. Tapi beberapa menit kemudian, seorang warga desa datang dan bisik-bisik ke Arden. Ekspresi Arden langsung berubah, tapi dia tetap tersenyum.

“Maaf ya, aku sama Arum dipanggil sebentar, ada yang minta tolong,” kata Arden cepat. “Kalian tunggu di sini ya, jangan ke mana-mana.”

“Tenang, gue jaga daerah sini,” kata Kien sambil gaya sok keren.

Arden dan Arum pun beranjak cepat, masuk ke jalan kecil di antara semak. Aruna ngikutin mereka dengan pandangan sebentar, lalu duduk lagi.

Tapi lima menit kemudian, Aruna berdiri pelan.

“Aku ke situ bentar ya, penasaran aja liat yang itu,” katanya pelan sambil nunjuk ke arah seberang sungai.

“Loh, ke mana?” tanya Fellora, tapi Aruna udah melangkah pelan-pelan.

Pohon beringin itu... berdiri jauh, besar dan gelap, sedikit tersembunyi di balik ilalang. Ada aura aneh yang kayak manggil—nggak keras, tapi nyeret pelan-pelan ke arahnya. Aruna kayak ditarik, langkahnya makin cepat.

Kien, Fellora, dan Defano buru-buru nyusul, tapi mereka juga pelan, tanpa sadar menahan napas.

Waktu mereka sampai di dekat pohon itu... semua terasa beda.

Angin berhenti. Suara alam hening. Dingin menjalar pelan dari tanah ke punggung. Di batang pohon beringin itu ada bekas pukulan-pukulan keras, luka gores yang panjang, dan noda darah kering yang udah menghitam. Aroma logam tercium samar.

“Darah... ini darah,” gumam Kien pelan.

Lalu—suara itu.

Tangisan. Sayup, parau, dalam. Seperti dari balik akar atau celah-celah udara.

Aruna mendekat lebih jauh, padahal yang lain mulai mundur. Dan saat itu...

Kabut. Tebal. Turun cepat dari segala arah. Membungkus udara. Menutup langit.

Sebuah sosok muncul perlahan dari balik pohon beringin—tinggi, menjulang, berjubah panjang menutupi tubuhnya. Di kepalanya ada dua tanduk panjang melengkung seperti kambing, tapi kakinya besar dan berotot seperti singa. Tangannya… tangan manusia. Tapi kulitnya terlalu halus, terlalu pucat.

Asap gelap mengepul dari tanah di sekitarnya. Berputar. Mengelilingi sosok itu seperti pusaran kabut neraka.

Semua membeku.

Hanya satu suara terdengar di kepala mereka.

“Akhirnya… kalian datang sendiri.”



Fellora langsung narik tangan Aruna. Tapi tubuh Aruna gemetar.

Kien dan Defano berdiri membeku, pandangan mereka kosong—entah karena takut, atau karena sesuatu sudah menahan mereka.

Dan sosok itu…

tersenyum.

BAB 15 Kebut Berdarah 
Tak ada yang berani bicara. Suara tangisan samar di balik pohon perlahan memudar, digantikan oleh bisikan pelan yang entah berasal dari mana. "Kalian... datang juga akhirnya..."

Kien mundur satu langkah, nafasnya tersengal. "Gue... gue nggak suka ini, Run..."

Aruna menggenggam tangan Fellora, mencoba tetap tenang. Tapi jantungnya berdegup liar. Tangan makhluk itu terangkat perlahan, menunjuk langsung ke arah mereka. Asap yang mengelilinginya bergulung, membentuk wajah-wajah samar yang menangis, menjerit, dan mengerang.

"Kenapa... kalian menyentuh tanah ini... sebelum waktunya...?"

Suara itu berat, serak, seperti ribuan batu yang digesekkan.

Defano berbisik, "Kita harus pergi... sekarang..."

Namun langkah mereka seolah tertahan. Tanah di sekitar kaki mereka terasa berat, seperti menolak kepergian. Angin mulai berhembus dari arah yang berlawanan. Dingin, tajam, menusuk ke tulang.

Makhluk itu melangkah sekali. Hanya sekali, tapi tanah bergetar. Pohon-pohon bergoyang seolah membungkuk padanya.

"Kalian sudah terlalu dalam... terlalu dekat..."

Seketika, suara langkah terdengar dari belakang. Arum dan Arden datang berlari dengan wajah panik.

"Jangan liat dia!" teriak Arden, menarik lengan Aruna.

Arum berlari ke arah Kien dan Defano. "Ayo! Tutup mata kalian! Lari sekarang juga!"

Suara yang Memanggil

Malam itu sunyi. Lebih sunyi dari biasanya. Di kamar yang hanya diterangi lampu minyak, Aruna terbaring dengan mata terbuka lebar. Suara jangkrik terdengar seperti bisikan yang terlalu dekat.

Fellora udah tertidur di ranjang sebelah, nafasnya teratur. Tapi Aruna... hatinya nggak tenang.

Sejak mereka lari dari pohon beringin, sejak mereka lihat makhluk itu—tinggi, berjubah, dengan tanduk panjang dan kaki singa—hidup mereka nggak sama lagi. Bahkan udara pun terasa lebih berat, lebih lembap, seolah seluruh desa berubah dalam satu kedipan.

Aruna duduk. Dia denger suara... samar banget. Tapi jelas memanggil.

"Aru... naa..."

Dia nengok ke jendela. Nggak ada siapa-siapa.

Dia berdiri pelan, buka jendela.

Kabut masih menyelimuti desa.

"Aruna..." suara itu lagi. Kali ini lebih dekat. Lebih lembut. Tapi dinginnya masuk sampe ke tulang.

Dia nutup jendela buru-buru. Mundur. Jantungnya berdebar keras.

Fellora mengigau pelan, wajahnya berkeringat padahal cuaca dingin.


Kien tidur di lantai beralaskan tikar bersama Defano. Tapi malam itu dia nggak bisa benar-benar tidur. Ada suara tangis pelan dari luar kamar. Dia kira suara Bi Ratih, tapi makin dia dengerin... makin aneh. Suaranya bukan kayak manusia.

"Kien..."

Dia buka mata lebar-lebar.

Defano juga duduk, wajahnya pucat.

"Lu denger juga, Fan?"

Defano ngangguk.

Mereka saling pandang, takut tapi penasaran.

Di balik pintu kamar, langkah kaki terdengar... pelan... berat... menyeret.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan suara nyaring. Tapi nggak ada siapa-siapa di sana.


---

Pagi datang tapi nggak ada kehangatan. Mereka duduk di dapur bareng Bi Ratih. Arum dan Arden belum muncul.

Bi Ratih masak air, tangannya sedikit gemetar.

"Bibik... tadi malam ada yang keliling ya?" tanya Aruna pelan.

Bi Ratih hanya diam. Lalu menjawab pelan, "Kalian harus kuat. Jangan pernah jawab kalau ada yang manggil dari luar kamar malam-malam. Itu bukan manusia."

Defano langsung merinding.

"Mereka udah tahu kalian..."

"Mereka siapa, Bibik?" tanya Kien.

Bi Ratih menatap mereka semua. Matanya penuh sayang. Tapi juga ketakutan.

"Yang menguasai desa ini."

BAB 16 Senapan Yang Memeluk 
Kabut belum juga naik, meski matahari sudah setinggi ubun-ubun. Hari itu terasa hampa. Setelah kejadian di bawah pohon beringin, tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar tidur semalam. Aruna hanya berbaring memeluk lututnya, sedangkan Fellora menatap langit-langit dengan mata terbuka. Suara tangisan semalam masih menggema dalam kepala mereka.

Pagi itu, mereka duduk di beranda bersama Kien dan Defano. Tak banyak yang dibicarakan. Hanya desahan, sorot mata kosong, dan satu dua kalimat yang tak utuh. Sampai akhirnya Bi Ratih keluar dari dapur, membawa teh hangat dan kue ubi.

"Hari ini... kalian bantu Bibi di dapur aja ya. Jangan keluar dulu," katanya pelan. Tak ada protes. Tak ada tanya.

Arden dan Arum tak muncul pagi itu. Rumah Pak Raden juga tampak sepi. Warga yang biasanya lalu-lalang malah mengurung diri. Hening.


Siang menjelang. Aruna berdiri di dapur, memotong daun pandan dengan tangan yang sedikit gemetar. Fellora menata piring, Defano mencuci beras, dan Kien hanya duduk menatap ke luar jendela.

"Kalian... tadi malam denger juga, kan?" gumam Defano.

"Tangisan itu... iya," jawab Kien lirih.

Fellora mendekat. "Tapi... siapa yang nangis? Dan kenapa darah di pohon itu kayak udah lama... tapi masih basah?"

Tak ada yang bisa menjawab. Aruna memejamkan mata. Di belakang kelopaknya, ia bisa lihat sosok itu lagi. Tinggi. Berjubah. Tanduk kambing. Asap hitam.

"Aku rasa... dia bukan cuma makhluk. Dia bagian dari desa ini. Udah lama... nunggu sesuatu," katanya pelan.

Sore itu, langkah kaki terdengar tergesa. Arum muncul dari balik rumah, wajahnya pucat. Arden menyusul dari belakang, membawa sebungkus kain.

"Kalian semua harus ikut ke rumah Pak Raden. Sekarang."

Mereka tak banyak tanya. Hanya mengikuti. Rumah Pak Raden gelap. Tirai semua tertutup. Di dalam, beberapa warga duduk melingkar. Di tengah ruangan, ada sesajen, bunga melati, dan sebuah kendi berisi cairan hitam.

Pak Raden berdiri di tengah, matanya menatap tajam ke arah mereka berempat.

"Kalian sudah lihat yang tak seharusnya."

Seketika ruangan terasa berat. Napas Aruna tercekat. Fellora menggenggam tangan Kien.

"Apa... maksudnya?" bisik Defano.

Pak Raden tak menjawab. Tapi Arum melangkah maju, suaranya pelan tapi jelas.

"Kalian harus tahu... desa ini tidak seperti yang kalian pikir."

Setelah malam itu, Aruna dan yang lain tak diizinkan keluar sendirian. Arum dan Arden selalu menemani. Tapi ada jarak yang mulai tumbuh. Senyum Arum tak lagi seterang biasanya. Tatapan Arden terlalu hati-hati.

Suatu malam, saat semua sudah tidur, Aruna menyelinap ke belakang rumah. Di sana, dia menemukan Arum sedang duduk sendiri, menatap ke arah hutan.

"Kamu tau sesuatu, ya?" tanya Aruna pelan.

Arum menoleh, wajahnya tak kaget. "Aku udah tinggal di sini sejak lahir, Aruna. Aku nggak bisa nolak apa yang diwariskan. Tapi aku juga nggak mau kamu hilang."

"Hilang?"

"Dulu... ada remaja yang datang dari kota juga. Mereka nggak pernah pulang. Sama kayak kalian."

Aruna merasa tanah di bawahnya bergoyang.

"Kenapa... kalian ajak kami ke sini?"

Arum menggeleng pelan, menahan air mata. "Bukan kami yang ajak. Desa ini... dia yang manggil kalian."

Aruna duduk perlahan di sebelah Arum. Angin malam menyelusup di antara pepohonan, membawa suara samar dari kejauhan. Seperti nyanyian. Atau ratapan.

"Arum," suara Aruna terdengar lirih, "apa yang sebenernya desa ini sembunyikan?"

Arum membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia butuh waktu. Tapi akhirnya dia bicara.

"Setiap dua atau tiga tahun, akan ada waktu tertentu... di mana desa ini harus memberikan sesuatu sebagai pengikat. Pengikat antara mereka... dan dia yang di hutan."

"Dia?" Aruna mengerutkan dahi.

"Makhluk yang menjadi penjaga... dan penguasa. Dia yang membuat desa ini tetap makmur, tetap utuh. Tapi harganya mahal."

"Tumbal..." bisik Aruna.

Arum mengangguk pelan. "Dan dia selalu meminta yang muda. Yang masih segar. Tapi dia nggak bisa ngambil sembarangan. Harus ada proses. Harus ada... pengikatan jiwa."

"Makanya kalian semua dibikin nyaman dulu, ya... dibikin betah?"

"Iya. Biar kalian merasa seperti di rumah. Biar ketika waktunya tiba... kalian udah terlalu dalam untuk kabur."

Aruna merasa dadanya sesak. Tiba-tiba semua kenangan, semua kebersamaan, semua tawa yang mereka lewati terasa seperti bagian dari jebakan besar.

"Tapi kenapa kalian baik sama kami? Kalau akhirnya begini?"

Arum menangis. "Karena kami juga manusia, Aruna. Kami juga benci harus begini. Tapi kalau kami nggak lakuin... desa ini mati. Orang-orang yang aku sayang mati. Aku... aku cuma bisa milih siapa yang lebih aku selamatkan."

Aruna nggak bisa berkata-kata. Di balik rumah, kabut mulai turun. Dan di ujung desa, ada suara lonceng kecil yang berbunyi—padahal tidak ada angin.

BAB 17 Suara Dari Dalam Hutan

Malam itu, Aruna nggak bisa tidur. Kata-kata Arum terus menggema di kepalanya:

"Desa ini… dia yang manggil kalian."



Dia duduk diam di depan jendela kamar, memandangi kebun yang gelap. Kabut tipis mulai turun. Lampu minyak di ruang tengah masih menyala redup. Suara binatang malam terasa lebih nyaring, seolah semua hal menahan napas.

Aruna baru bisa tertidur menjelang subuh, tapi tidurnya dipenuhi mimpi buruk. Ia melihat bayangan tinggi menjulang, suara napas berat, dan daun-daun kering berserakan menutupi tanah yang merah karena darah.


---

Pagi harinya, Bi Ratih sibuk menyiapkan sarapan. Tapi suasana rumah tetap sunyi. Kien duduk diam sambil ngaduk teh hangatnya tanpa minum. Defano sesekali melirik keluar jendela, dan Fellora membisu sambil mainin jari-jarinya.

“Abis makan, kalian istirahat aja dulu, ya…” kata Bi Ratih pelan.

Tapi nggak ada yang jawab.

Mereka merasa diawasi. Bukan cuma oleh Bi Ratih… tapi oleh sesuatu yang lebih tua. Lebih besar. Yang hidup dalam tanah dan udara desa ini.


---

Siang harinya, Arum dan Arden ngajak mereka jalan ke arah sungai. Tapi kali ini bukan buat mancing atau belajar anyam bambu.

“Kami pengen nunjukin tempat,” kata Arden singkat.

Mereka jalan dalam diam. Aruna mulai nyadar, jalur yang mereka lewati kali ini lebih dalam ke hutan. Bukan ke arah pohon beringin, tapi ke arah seberangnya. Jalan setapak makin sempit, dan ranting-ranting rendah menyentuh rambut mereka.

“Tempat apa?” tanya Kien pelan.

Arum menoleh. “Tempat persembunyian.”

“Persembunyian dari siapa?”

Arum nggak jawab.


---

Setelah hampir satu jam jalan kaki, mereka sampai di sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Gubuk itu tersembunyi oleh semak belukar dan pohon tua. Ada bekas kayu bakar di depannya, dan tali-tali tua tergantung di salah satu dinding.

Fellora mundur setengah langkah saat liat bekas darah kering di lantai kayu gubuk itu.

“Apa ini… tempat?” bisik Defano.

Arden melangkah masuk, nunduk, lalu buka lantai kayu gubuk. Di bawahnya, ada ruang kecil semacam bunker tanah.

“Kalian harus tahu,” bisik Arden. “Dulu, salah satu anak dari kota bersembunyi di sini. Tapi dia tetap ketemu. Dan waktu ditemukan… dia nggak lagi utuh.”

Deg.

Suasana mendadak makin dingin. Bahkan Kien, yang biasanya paling santai, kelihatan pucat.

“Siapa yang nemuin dia?” tanya Aruna, suaranya nyaris tak terdengar.

Arum memandangi Aruna lama. “Yang sama dengan yang kalian lihat waktu itu… di balik kabut.”

Aruna ngerasa lututnya lemes.


---

Mereka duduk berdiam cukup lama di sekitar gubuk itu. Arum akhirnya buka suara lagi.

“Kami emang nggak bisa nyelametin semua orang yang datang ke sini. Tapi kadang... kami bisa bantu mereka bertahan lebih lama.”

“Kalian tau semua ini dari dulu?” tanya Fellora, matanya berkaca-kaca.

Arden angguk pelan. “Sejak kecil. Kami dibesarkan buat ngerti kapan waktunya satu jiwa harus dikorbankan. Dan kapan bisa ditunda.”

Aruna berdiri pelan. “Jadi... selama ini kalian baik ke kita karena... kalian kasihan?”

“Bukan.” Arum berdiri juga. “Karena kami sayang.

“Sayang... ke siapa? Kita semua?” suara Defano bergetar.

“Ke kalian,” bisik Arum. “Tapi juga ke dia.”

Sunyi. Semua menatap Arum.

“Dia siapa?”

Arum memejamkan mata. “Yang jaga desa ini. Yang menuntut jiwa. Yang pernah menyelamatkan desa ini dari kehancuran... tapi dengan harga.”


---

Saat mereka kembali ke desa sore itu, kabut mulai turun sebelum matahari benar-benar hilang. Tapi ada yang beda kali ini.

Kabut itu... bergerak melawan arah angin.

Kabut itu... mengelilingi mereka seperti sedang menyambut.

Aruna menggenggam tangan Fellora, dan Kien tanpa sadar berdiri lebih dekat ke Defano. Hati mereka berdetak lebih cepat, tapi kaki mereka tetap berjalan.

Di tengah kabut, sesosok tinggi terlihat lagi.

Tapi kali ini... dia tidak hanya mengintai.

Dia berjalan pelan ke arah mereka.

Dan dia tidak sendiri.

Suaranya berat... menyeret... dan membawa bisikan. Aruna mendengar namanya dipanggil.

 “Aruuuna…”



Aruna berhenti. Nafasnya sesak.

 “Kamu yang dipilih.”



Langit di atas mereka masih terang.

Tapi dunia terasa seperti tengah malam.

Dan desa itu... akhirnya membuka taringnya.

BAB 18 Yang Dipilih 

Langkah sosok itu pelan, tapi dunia seperti membeku tiap kali kakinya menyentuh tanah.

Aruna merasa seluruh tubuhnya ditarik ke depan, seperti ada tali tak kasatmata yang mengikat jiwanya. Suara itu... suara berat yang memanggil namanya... bukan sekadar suara.

itu perintah.

Kien buru-buru nyeret Aruna mundur, “Aruna, jangan lihat dia! JANGAN LIAT DIA!”

tapi udah terlambat.

Mata Aruna terkunci pada sosok itu.


---

Makhluk itu berdiri beberapa meter dari mereka sekarang.

Jubahnya seperti kabut yang padat, bergelombang. Tanduk-tanduk kambing di kepalanya menjulang ke atas, melengkung nyaris menyentuh bahunya. Di bawah jubahnya, kaki berbulu kekar seperti singa berdiri kokoh, tapi tangan manusia keluar dari balik jubah itu—panjang, pucat, dan jari-jarinya terlalu banyak.

asap hitam mengepul dari tubuhnya, membuat suara bisik-bisik yang langsung masuk ke kepala mereka semua.

Defano menutup telinga. “DIA BICARA DI DALAM OTAK GUE!”

Fellora gemetar. “Dia... dia minta satu nama…”

Arden dan Arum udah berdiri di depan mereka, melindungi, tapi getaran tubuh mereka keliatan jelas. Arum nekat melangkah maju, teriak, “ENGGAK! KALIAN UDAH AMBIL CUKUP!

Makhluk itu nggak menjawab. Cuma berdiri di sana, matanya—dua titik merah kecil di balik bayangan wajahnya—menatap Aruna lekat-lekat.

Aruna memegang dada. Ada rasa nyeri di sana. Panas.


---

 “Kau... akan menemaniku seterusnya disini.”



Suara itu masuk langsung ke kepalanya. Berat. Dalam. Dan tak bisa dilawan.

Aruna jatuh berlutut.

Fellora langsung peluk dia dari belakang, “Kita kabur, Aruna... kita bisa kabur... tolong jangan tinggalin kita…”

Tapi Aruna tahu. Dari dalam dirinya, dia tahu… sesuatu sudah berubah. Ada bagian dari dirinya yang sudah dicap. Sudah ditandai.

Dan semua ini bukan mimpi lagi.


---

Kabut makin tebal. Warga desa mulai muncul di pinggir hutan. Berdiri diam, seperti patung.

Pak Raden ada di depan mereka semua. Tangannya menggenggam kendi kecil berisi cairan hitam.

Arden melangkah mundur. “Tidak... Bapak nggak boleh…”

Tapi Pak Raden tetap maju, menatap Aruna. “Jika kau ditunjuk... maka takdirmu tak bisa dihindari.”

Defano berdiri menghadang, “Kami semua bakal pergi dari sini! Nggak ada yang akan tinggal di desa ini!”

Tapi waktu dia ngomong itu...

...makhluk itu melangkah maju.

Sekali.

Dan seluruh bumi seolah bergetar. Sebatang pohon tua di sisi kanan mereka roboh sendiri. Burung-burung terbang keluar, dan kabut menelan suara hutan sepenuhnya.


---

Lalu…

tangan makhluk itu terangkat, menunjuk Aruna.

Seketika semua suara lenyap. Waktu seolah berhenti.

Di antara keheningan itu, hanya satu suara yang terdengar dalam kepala Aruna:

Pilihlah… yang kau korbankan.”



Aruna tercekat.

“A-apa…?”

Makhluk itu diam. Tapi makna kata itu menggema di dalam jiwanya. Aruna... disuruh memilih.

Kalau dia menolak...

semuanya akan diambil.

Kien, Fellora, Defano.

Dia harus memilih.

Air mata Aruna jatuh. Dia mundur, panik. “AKU NGGAK BISA!”

Kien menggenggam tangannya erat. “Kita bareng-bareng, Na... jangan pilih siapa pun. Kita kabur semua. Kita bisa!”

Fellora angguk pelan. “Kalau kamu nggak kuat... kita peluk kamu. Kita bareng.”

Tapi makhluk itu melangkah lagi.

Dan lagi.

Sampai kabut menyentuh kaki mereka.


---

SATU NAMA. ATAU TIGA NYAWA.



suara itu keras, menghantam keras di kepala Aruna. Dunia berputar. Aruna jatuh ke tanah, matanya terbuka lebar tapi pandangannya kabur.

Arum teriak histeris, “BERHENTI! DIA CUMA ANAK KECIL!”

Tapi makhluk itu... diam.

menunggu.

tangan masih teracung.

Kien, Fellora, Defano... semua nunduk. Mereka tahu ini bukan mimpi. Mereka tahu salah satu dari mereka harus hilang.

tapi tak satu pun dari mereka bergerak.

Aruna... menatap mereka semua. Air matanya mengalir, deras.

“aku... nggak mau kehilangan kalian…”



Dan ketika suara hatinya mengucapkan itu...

...makhluk itu berhenti.


---

Dia menurunkan tangannya. Lalu membungkuk perlahan ke arah Aruna.

“Jika kau tak bisa memilih... maka aku yang akan memilih untukmu.”



Langit di atas mereka gelap.

Kabut menyelimuti mereka semua.

Dan tiba-tiba...

...semuanya gelap.


---

Aruna pingsan.

Dan ketika dia terbangun...

dia sendirian.

di tengah hutan.

sendirian.

BAB 19 Penjara Kabut

Aruna terbangun dengan pelan. Kelopak matanya berat, napasnya masih terengah-engah. Udara dingin menusuk sampai ke tulangnya, dan kabut... kabut masih di mana-mana.

Dia duduk perlahan. Matanya menyapu sekitar.

Hutan.

Tapi hutan ini bukan seperti yang ia kenal.

Tidak ada suara burung. Tidak ada desir angin. Tidak ada warna. Hanya hitam, abu-abu, dan putih dari kabut yang terlalu tebal.

Aruna memeluk dirinya sendiri. Bukan hanya karena dingin, tapi karena perasaan yang tumbuh dari dalam dirinya... perasaan sepi yang seperti abadi.

Dia mencoba berdiri. Kakinya gemetar. Dia melangkah beberapa meter... tapi jalannya selalu berakhir di tempat yang sama.

Pohon yang sama.

Akar yang sama.

Lingkaran.

Dia terjebak.


---

Sementara itu, di desa, suara tangis memenuhi kamar Bi Ratih. Fellora berteriak, memanggil Aruna. Kien menahan tubuhnya, tapi matanya sendiri basah. Defano berdiri membelakangi mereka, menggenggam jendela.

"Dia masih hidup... gue yakin dia masih hidup..."

"Tapi di mana!?" Fellora hampir histeris.

Arden masuk tanpa ketukan, wajahnya suram. "Dia... tidak sepenuhnya hilang. Tapi... dia sekarang berada di batas."

"Batas apaan?!" Kien berdiri, nadanya meninggi.

"Batas antara kita dan mereka. Batas yang ditarik oleh entitas itu."

Arum muncul di belakangnya. "Dia akan tetap hidup... kalau kita tidak mengganggu."

Fellora menatap mereka tajam. "Nggak. Kita nggak bakal tinggal diam. Kita akan cari dia. Kita akan selamatin dia!"

"Kalau kalian ganggu batas itu, kalian semua bisa hilang juga," ujar Arum, suaranya bergetar. "Kita sudah kehilangan banyak orang. Kami hanya ingin kalian pergi dengan selamat."

"Kalau gitu bantu kami. Jangan halangin!" bentak Defano.

Arden geleng pelan. "Kalian nggak ngerti apa yang kalian lawan..."

"LALU JELASIN!" Kien membentak, nadanya gemetar karena emosi.

Arden diam. Tapi Arum menjawab, pelan sekali.

"Dia... makhluk itu... tidak hanya mengambil tubuh. Tapi juga waktu. Jiwanya disimpan dalam ruang yang tidak berjalan seperti kita. Satu jam di sini... bisa jadi seabad di sana."

Hening.

Fellora menunduk. "Jadi... Aruna sekarang... sendiri... dalam waktu yang nggak bisa kita jangkau?"

Arum mengangguk, pelan.


---

Di tengah hutan kabut, Aruna duduk bersandar di pohon. Wajahnya penuh luka kecil. Tangannya menggambar di tanah, berharap bisa memberi tanda, tapi tak ada yang bertahan lama. Setiap gambar hilang... diserap kabut.

Tapi dia masih sadar. Masih ada. Masih berjuang.

"Kien... Fellora... Defano..." bisiknya, "tolong... jangan tinggalin aku..."

Dan dari balik kabut...

Terdengar bisikan.

Pelan. Lirih. Familiar.

Suara Kien.

Aruna menoleh cepat. "KIEN!?"

Tapi tak ada siapa-siapa.

Hanya kabut.

Dan waktu...

...yang tak bergerak.

Aruna terdiam.

Suara Kien tadi terlalu nyata. Tapi juga terlalu jauh. Seperti gema dari masa lalu... atau masa depan.

Dia berdiri lagi, mencoba melangkah lebih jauh dari sebelumnya. Setiap langkah seperti dihantam beban tak kasat mata. Kabut di sekitarnya seperti hidup—bergerak lambat, berputar, dan sesekali menyentuh kulitnya seperti tangan yang dingin.

"Jangan takut..."

Suara itu lagi.

Tapi sekarang bukan suara Kien.

Lain. Seperti suara dirinya sendiri—tapi versi yang lebih tua. Lebih dalam. Lebih... dingin.

Aruna menoleh ke segala arah. Tak ada siapa pun. Tapi dia merasakan kehadiran. Sesuatu yang besar. Sesuatu yang memperhatikan.

Lalu dari antara kabut, muncul bayangan samar: sosok perempuan... berambut panjang... wajahnya mirip Aruna.

Sangat mirip.

Dia berjalan perlahan, mata kosong menatap Aruna. Mulutnya terbuka, tapi tak bersuara. Namun Aruna mendengar...

"Kau akan jadi aku."

Aruna mundur, kakinya terantuk akar.

"AKU BUKAN KAMU!" teriaknya.

Tapi bayangan itu tetap berjalan. Dan saat kabut menyentuh kakinya, tubuhnya menyatu dan menghilang.

Aruna jatuh terduduk. Tubuhnya gemetar. Apa tempat ini mengubah dia? Apa semua ini bagian dari... penyerapan jiwanya?


---

Di desa, Defano menghantam meja di ruang tengah rumah Bi Ratih. "Kita harus masuk ke hutan lagi. Hari ini juga."

Kien mengangguk. "Gue nggak peduli kalau itu gila. Kita nggak bisa tinggal diam."

Fellora masih terisak. Tapi kini dia berdiri, menghapus air matanya. "Kalau kita mati... setidaknya kita mati sambil nyari Aruna."

Arum terlihat bingung, cemas, dan sedih sekaligus. Tapi Arden berdiri menahan mereka.

"Kalian nggak tau cara masuk ke batas itu. Kalian bakal nyasar dan hilang, bukan nyelametin dia."

"TERUS APA YANG HARUS KITA LAKUIN!?" teriak Kien.

Arum maju, suaranya pelan. "Ada satu cara... satu tempat. Tapi kalian harus siap kehilangan sesuatu."

Fellora melangkah maju. "Kami udah kehilangan Aruna. Apa lagi yang bisa lebih buruk?"

Arum menunduk. "Mimpi kalian. Waktu kalian. Bahkan kenangan kalian... akan dijadikan alat tukar."

Hening.

Kien akhirnya bicara. "Kalau dengan kehilangan itu bisa bawa Aruna pulang... gue siap."


---

Sementara itu...

Waktu berjalan aneh dalam kabut.

Aruna tak tahu sudah berapa lama dia di sana. Bisa sejam. Bisa seribu tahun. Dia mulai melihat hal-hal aneh: wajah Bi Ratih dalam kabut. Suara adiknya saat kecil. Bahkan rasa pelukan dari ibunya.

Semua datang lalu hilang.

Dia berlari. Berteriak. Menangis.

Tapi kabut tetap memeluknya. Menghisap semua ingatan dan menyisakan... dirinya sendiri.

Aruna terengah. "Kalau ini... akhirku... tolong biarkan mereka pergi. Jangan sentuh mereka..."

Kabut berbisik kembali.

"Kau mulai berubah... kau mulai menjadi bagian dariku..."

Aruna tak tahan. Dia berteriak ke langit, ke kabut, ke dunia yang tak lagi berjalan:

"AKU ARUNA! AKU TIDAK TAKUT! AKU AKAN KEMBALI!"

Teriakannya menggema.

Dan di kejauhan...

...untuk pertama kalinya sejak lama...

...kabut itu pecah sedikit.

Cahaya... sangat redup... menembus tipis.

Aruna melihatnya.

Matanya melebar.

Harapan pertama sejak selamanya.

Dia bangkit.

Dan mulai berlari ke arah cahaya itu...


---

Di desa, Arum membimbing mereka bertiga ke sebuah tempat yang tersembunyi. Pohon-pohon besar, akar melingkar, dan di tengahnya... sebuah lingkaran dari batu hitam.

"Tempat ini... pemisah waktu. Tapi kalian harus masuk dengan satu hal yang paling kalian sayang. Kalau tidak... kalian akan jadi bagian dari waktu itu sendiri."

Defano merogoh jaketnya. Mengambil sebuah kalung kecil. Foto ibunya di dalam.

Dia menatapnya lama. Lalu mengepalkan tangan.

"Kalau itu bayarannya... gue siap."

Kien dan Fellora saling berpandangan. Tak perlu bicara. Mereka masuk ke lingkaran itu... dan dunia mulai bergetar.

Langit menjadi kelabu.

Akar-akar pohon bergerak.

Dan waktu... akhirnya terbuka.

Mereka akan menyusul Aruna.

Tapi waktu... tidak akan menunggu.

BAB 20 Pecahnya Bayangan 

Langkah Kien, Defano, dan Fellora makin tak tentu arah. Kabut makin pekat. Hutan seperti berubah bentuk. Jalan yang mereka lalui tak pernah sama, dan suara Aruna yang sempat terdengar samar kini benar-benar hilang.

"Kita muter-muter di tempat yang sama..." desah Kien, frustrasi.

"Nggak, gue yakin... dia di deket sini..." Defano masih terus maju, tapi langkahnya mulai goyah.

Fellora menghentikan mereka. Napasnya berat. "Kita harus pikirin ini baik-baik. Kita udah bukan di dunia biasa. Ini... ini kayak dimensi lain. Kita masuk ke tempat milik dia."

Tiba-tiba... tanah di bawah mereka merekah.

Gelap.

Mereka bertiga jatuh.


---

Defano terbangun pertama. Kepalanya sakit. Tempat itu seperti ruangan melingkar, dindingnya dari akar dan daging. Ada cahaya samar merah dari atas—seperti urat-urat menyala yang bergerak di langit-langit.

Di sebelahnya, Fellora mengerang, menggenggam lengannya yang lecet. Kien terbatuk pelan, berdiri perlahan. Mereka terjebak dalam ruangan yang terasa... hidup.

"Apa... ini?" Fellora berbisik.

Langkah kaki terdengar.

Aruna.

Tapi bukan Aruna seperti biasanya. Ia berdiri di sisi ruangan, mengenakan gaun abu tipis yang mengambang seperti kabut. Matanya kosong. Di belakangnya...

Makhluk itu.

Jubahnya menyatu dengan dinding. Dia tidak berdiri, dia... ada. Di mana-mana. Tanduknya kini menyentuh langit-langit.

"Aruna!" Kien langsung maju, tapi Aruna mengangkat tangan.

"Jangan mendekat..." suaranya datar.

"Itu bukan kamu! Kamu sadar, kan!? Kami di sini buat bawa kamu pulang!" Defano mendekat.

"Pulang...?" Aruna menatap mereka. "Tempat ini udah jadi rumah gue."

Makhluk itu tertawa pelan. Suara tawanya seperti dinding runtuh dan tulang pecah.

Fellora melangkah maju, air matanya jatuh. "Jangan bohong... Aruna, kamu takut kan? Kamu nggak sendiri... kita semua di sini. Kita temenin kamu!"

Aruna menunduk. Tangan gemetarnya mengepal. "Kalian nggak ngerti... gue capek... gue ngerasa hampa... dan dia... dia ngisi kekosongan itu..."

"Dia MEMAKSA kamu! Dia ngambil waktu kamu, dia nyiksa kamu!" Kien marah.

Makhluk itu berbicara, suaranya mengisi seluruh ruangan:

"Aruna telah dipilih. Tapi aku bukan tiran. Jika ia mau, kalian bisa pergi. Dengan satu syarat."

"Apa?" Fellora menantang.

Makhluk itu memiringkan kepala. Aruna menatap mereka pelan.

"Aruna, bangkit dan hiduplah bersamaku, maka dengan senang hati aku akan melepaskan semua teman tak berguna mu dari desaku."

Keheningan menyergap. Lalu pelan-pelan, Aruna berdiri. Tubuhnya melayang. Wajahnya menatap kosong ke makhluk itu.

"Itu doang? Ayo! Gue nggak bakal takut ngasih apapun asal untuk keselamatan teman gue."

Kien, Fellora, dan Defano membeku.

"ARUNA, JANGAN!"

"Kita bisa keluar bareng! Kita bisa cari jalan! Jangan tinggalin kita!"

Tapi makhluk itu berkata:

"Usir mereka."

Aruna berputar perlahan, wajahnya menghadap mereka bertiga. Matanya kini putih, seputih salju. Tak ada emosi.

"Pergi kalian dari wilayah gue."

Suaranya menggema. Ruangan bergetar.

"Aruna... tolong..." bisik Fellora, air matanya jatuh deras.

"Aruna, LAWAN DIA!" Kien berteriak, maju lagi.

Tapi cahaya merah mulai muncul dari tanah.

Lingkaran terbentuk di bawah kaki mereka bertiga. Cahaya menyilaukan. Udara menipis.

Makhluk itu menoleh pelan ke Aruna.

"Selamat tinggal... kawan lama."


---

Dalam sekejap...

Kien, Defano, dan Fellora lenyap.

Mereka muncul di depan rumah Pak Raden, tubuh mereka terseret ke tanah.

Warga desa sudah berkumpul. Arum, Arden, Pak Soni, Bi Ratih... semua ada di sana.

Tapi yang paling mengerikan...

Di tengah halaman... ada kotak kaca.

Dan di dalamnya...

Aruna.

Terbaring. Tenang. Matanya terpejam.

Tak ada nafas. Tak ada detak.

Tapi tubuhnya masih hangat.

Masih cantik.

Tak ada serangga berani mendekat.

Fellora jatuh berlutut.

Kien menjerit.

Defano membanting tanah dengan kepalan tangan.

Bi Ratih hanya menunduk. "Rohnya... sudah jadi bagian dari hutan itu. Tapi raganya... akan kami jaga. Selamanya."


---

Dan di hutan yang sama...

Aruna berdiri di samping makhluk itu.

Matanya tenang.

Bayangan mereka menyatu.

Ia telah memilih.

Tapi... hatinya masih mencari.

Masih berharap.

Meski ia tak bisa lagi memanggil nama siapa pun.

Di Taman Kabut

Sudah bertahun-tahun sejak malam kelam itu berlalu. Tapi desa kecil di kaki gunung itu... tetap hidup.

Warga kembali tersenyum. Ladang subur, ternak tumbuh sehat, dan anak-anak kembali bermain di lapangan rumput yang dulu jarang dipijak karena takut. Tak ada lagi bisik-bisik tumbal. Tak ada lagi larangan mendekati hutan. Semua terasa damai. Semua seperti... diberkati.

Di tengah alun-alun desa, berdiri sebuah tugu marmer bening. Di dalamnya, sebuah kotak kaca kecil. Dan di dalam kotak itu...

...Aruna.

Berbaring tenang. Wajahnya damai. Tak pernah membusuk, tak pernah berubah. Rambutnya tetap hitam tergerai, kulitnya pucat bersih, dan matanya... tertutup dengan tenang.

Di bawah kaca itu, ada ukiran kecil:

“Aruna Maharani Yudasari— yang menyerahkan hidupnya, agar kami tetap hidup.”

Orang-orang kadang menaruh bunga. Kadang menyapanya sambil lewat. Anak-anak diajarkan untuk menaruh hormat, bukan takut. Karena Aruna... adalah penjaga mereka sekarang. Bukan hantu. Tapi pelindung.

Mereka tak tahu kalau tiap malam... dari balik kabut tipis yang menggantung di sekitar desa, Aruna masih menatap mereka.

Tersenyum kecil, melihat anak-anak melukis.

Memandangi Pak Soni mengajar di sekolah kecil yang baru dibangun.

Mengikuti Bi Ratih dari jauh saat menyiram bunga.

Menemani ibu-ibu yang tertawa di warung kopi.

Dia tak pernah muncul.

Tapi dia ada.

Tidak untuk menakut-nakuti.

Cuma ingin memastikan... semuanya baik-baik saja.

Sampai suatu malam...

BAB 21 BERDANSA DENGAN KABUT 

Sampai suatu malam...

Langit penuh bintang. Kabut pelan-pelan terbuka, seperti seseorang membelah tirai dunia. Aruna berdiri di ujung desa, mengenakan gaun tipis putih, kakinya tak menyentuh tanah. Matanya masih indah seperti dulu, tapi kini tak memantulkan dunia manusia lagi.

Dari balik kabut, sosok tinggi menjulang muncul. Jubahnya tidak sehitam dulu. Kali ini, lebih tenang. Seperti awan gelap sebelum hujan yang... terasa menenangkan.

Aruna menoleh padanya dan tersenyum.

“Mau pergi jalan-jalan?” tanyanya ringan.

Makhluk itu diam, lalu mengangguk.

Kabut membuka jalan. Mereka berjalan berdampingan. Melalui pohon-pohon tinggi. Melalui sungai. Melewati batas-batas hutan.

Sampai akhirnya... mereka tiba di suatu taman.

Tidak besar. Tapi indah.

Ada bunga-bunga ungu yang tidak tumbuh di dunia manapun. Tanahnya mengambang di udara, melayang dalam kehampaan. Cahaya bulan menetes dari langit seperti hujan lembut. Kabut menggantung manis, tidak mencekam.

Di tengah taman itu... ada ruang kecil. Seperti lantai dansa dari batu halus.

Aruna melangkah ke sana.

Dia menoleh pada makhluk di sebelahnya. Tersenyum.

“Ayo berdansa.”

Makhluk itu sedikit kaku. Tapi dia maju juga. Tangan manusia panjang itu menggenggam tangan Aruna perlahan. Langkah-langkah mereka pelan. Melayang, mengambang, tenang.

Tak ada musik. Tapi jiwa mereka menari.

Dan di tengah keheningan itu...

Aruna bertanya pelan, sambil menatap ke langit malam.

“Disana... teman-teman aku pasti bahagia ya?”

Makhluk itu terdiam sebentar. Lalu mengangguk pelan. “Hmm. Ya.”

Aruna tertawa kecil. Senyumnya hangat, jujur, polos.

“SENANG BANGET bisa dengar mereka selamat!” katanya semangat, seperti anak kecil yang menang hadiah.

Makhluk itu menunduk sedikit.

“Ya,” gumamnya.

“Sama.”

Aruna menatap makhluk itu. Untuk pertama kalinya, dia sadar... wajahnya yang samar dan tidak manusiawi itu menyimpan sesuatu.

Perasaan.

Seketika... dia tidak melihat iblis atau makhluk dari mimpi buruk.

Dia melihat... seseorang.

Yang kesepian.

Yang bahagia melihat orang lain bahagia.

Yang... tak ingin sendiri.

Aruna menyentuh dada makhluk itu perlahan. “Terima kasih udah jaga aku.”

Makhluk itu tidak menjawab.

Tapi ia genggam tangan Aruna lebih erat.

Dan bersama, mereka terus menari...

...dalam kabut.

...di taman yang tidak akan pernah dikunjungi manusia.


---

Sementara di dunia nyata...

Kien menatap jendela kamarnya, menulis di halaman terakhir buku harian Aruna yang ia bawa pulang.

Fellora duduk di kursi roda, membaca kembali surat-surat Aruna yang ia temukan tersembunyi.

Defano berdiri di depan foto mereka bertiga, menaruh bunga kering dari desa.

Mereka semua bertanya-tanya...

...apakah Aruna masih mengingat mereka?

Dan di tengah heningnya malam...

...angin berhembus, membawa bisikan.

"Iya, aku ingat... dan aku selalu lihat kalian."

Tapi hanya mereka yang benar-benar mendengarkan, yang akan tahu.

Aruna belum benar-benar pergi. Ia hanya berpindah ke tempat di mana waktu tak berjalan, tapi cinta tetap tinggal.

Dan kini, dia berdansa. Di taman yang sunyi, di mana kabut tak lagi menakutkan dan langit seperti menahan napas.

Di sisi makhluk yang dulunya menakutkan... dan kini, tak ingin kehilangan dirinya dan menjadi satu satunya malam hidupmya.

SPESIAL BAB 22 
“Aruna: Dalam Kabut yang Memelukku”

(cerita dari sudut pandang Aruna, Aruna Maharani Yudasari)




aku masih ingat langkah-langkah awal kami.

tanah yang lembap. kabut yang tipis. tawa mereka. Fellora dengan senyuman kecilnya. Kien yang selalu nyinyir tapi peduli. Defano yang kalem tapi nggak pernah ninggalin kami. dan aku... hanya ingin ke puncak. seperti mimpi kecil yang akhirnya bisa kugapai bareng mereka.

tapi tidak semua mimpi harus digapai.

beberapa seharusnya tetap jadi mimpi. tidak dijamah, tidak ditantang.

aku mengingat malam ketika kami memancing. Arum dan Arden tersenyum, tapi hatiku terhenti saat menatap pohon beringin itu. langkah kakiku ringan tapi dunia terasa berat. darah di tanah. bekas seretan. suara yang tidak harusnya ada.

dan kemudian... kabut.

kabut itu menelanku. menelanku hidup-hidup.

di sanalah semuanya mulai berubah. waktu kehilangan bentuknya. aku kehilangan mereka. hanya suara-suara, hanya bayangan. hutan menjadi kurungan, dan aku... hanyalah seseorang yang tersesat di dunia yang tidak mengenal pagi.

aku mencoba keluar.

aku menggambar di tanah, berteriak, menulis, menari, menangis... semua hilang. semua kembali ke tempat semula. pohon yang sama. akar yang sama. luka yang semakin dalam. aku tidak tahu berapa lama aku di sana. seminggu? setahun? seratus tahun?

aku tidak mati. tapi juga tidak hidup.

kadang, aku mendengar suara Kien. kadang, aku merasa napas Fellora. kadang, aku yakin Defano ada di dekatku. tapi setiap aku menoleh... hanya kabut. hanya sepi.

lalu... dia datang.

makhluk itu.

tinggi. berjubah. bertanduk. bukan manusia, tapi juga bukan binatang. suaranya seperti bisikan dan badai dalam satu waktu. dia tidak menyerangku. tidak mencabikku. dia hanya... mengamatiku. seperti menunggu.

“kenapa kamu memanggilku?” dia bertanya.

aku tidak tahu.

tapi mungkin... aku memang sudah memanggilnya sejak lama. sejak rasa takut itu tumbuh. sejak aku merasa sendirian. sejak aku sadar... aku tidak akan kembali.

makhluk itu tidak memberiku jawaban, tapi juga tidak memberiku rasa sakit. kami hanya... ada di tempat yang sama. dia bicara padaku. kadang bercerita. kadang hanya diam.

anehnya, aku tidak takut lagi.

dan saat teman-temanku datang, saat Kien, Fellora, dan Defano akhirnya menembus batas itu dan berdiri di hadapanku... hatiku seperti akan pecah.

tapi semuanya sudah terlalu lambat.

aku sudah bukan bagian dari dunia mereka.

dan makhluk itu tahu.

“Aruna,” katanya, “bangkit dan hiduplah bersamaku. maka dengan senang hati, aku akan melepaskan semua teman tak berguna mu dari desaku.”

aku tahu apa maksudnya.

aku tahu... tidak ada jalan kembali yang bisa membawa kami berempat.

jadi aku berdiri.

aku melayang perlahan, terasa ringan tapi menyakitkan. seperti mencabut akar dari tubuhku sendiri.

aku menatap mereka. Kien. Defano. Fellora. mata mereka penuh harapan, ketakutan, penolakan. tapi aku sudah memilih.

“itu doang?” kataku, pelan. “ayo. gue nggak bakal takut ngasih apapun... asal untuk keselamatan teman-teman gue.”

lalu makhluk itu tersenyum.

“usir mereka,” bisiknya.

aku berbalik. tubuhku mengambang. suaraku bergema tanpa bisa kukendalikan.

“pergi kalian dari wilayah gue.”

dan lingkaran merah itu... menelan mereka.


---

aku melihat raga ku dari kejauhan. tersimpan dalam kotak kaca. tenang. tidak membusuk. tidak rusak. hanya... tidak bernyawa. seperti tidur yang sangat dalam.

orang-orang menangis. Bi Ratih menunduk. Pak Raden dan Pak Soni berjaga. tak ada tumbal lagi. tak ada pemanggilan. hanya nama Aruna yang terukir di altar. sebagai penjaga. sebagai yang diserahkan.

mereka memujiku.

tapi mereka tidak tahu... aku masih ada.

aku masih berjalan di desa ini.

kadang kulihat anak kecil menari di bawah pohon, aku tersenyum. kadang kulihat perempuan tua menyeduh teh, aku duduk di sampingnya. aku tidak ingin mengganggu. aku hanya ingin melihat.

dan dia... makhluk itu... selalu di sampingku.

diam. mengamati. melindungi. atau mungkin... memiliki.

sampai akhirnya kami tiba di taman itu.

taman yang tidak ada di peta mana pun. taman yang hanya bisa dicapai oleh jiwa yang hilang dan tidak dicari.

“disana... teman-temanku pasti bahagia ya?” tanyaku, memandang kabut yang kini berwarna biru lembut.

“hmm,” jawabnya singkat.

aku tersenyum. “senang banget bisa dengar mereka selamat!”

ia memalingkan wajah yang penuh tanduk dan retakan itu, lalu mengangguk. “ya. sama.”

aku tahu... dia jujur.

aku bisa melihat sisi lain dirinya. sisi yang tidak pernah dia tunjukkan pada dunia. sisi yang... menyayangiku.

dan di taman sunyi itu, kami berdansa.

pelan. sunyi. tanpa musik.

tapi rasanya... hidup.


---

aku bukan lagi Aruna si pendaki.

aku bukan juga korban dari kutukan.

aku hanyalah jiwa yang memilih diam di antara kabut dan bayangan.

dan jika kamu datang ke desa itu, dan berdiri di depan kotak kaca... mungkin kamu akan mendengar bisikan kecil, seperti daun yang saling bersentuhan.

“aku tidak pergi.”

“aku hanya berpindah.”

dan aku... masih berdansa.

SPESIAL BAB 24 
Defano: Untuk Itu Gue Bersumpah

(cerita dari sudut pandang Defano, Defano Kalingga Al Wijaya)

Mereka bilang waktu bisa menyembuhkan semua luka. Tapi tidak dengan luka yang ini. Bukan luka di kulit yang bisa diolesi salep atau dijahit. Ini luka yang jauh lebih dalam. Luka yang tumbuh diam-diam di balik dada, dan terasa tiap kali gue tarik napas.

Gue masih ingat malam itu.

Gue masih ingat betul gimana Aruna jatuh berlutut di hadapan makhluk itu, dan suara berat itu menggema di kepala kami semua: "Satu nama. Atau tiga nyawa."

Saat itu, gue udah tahu. Gue tahu banget, sekuat apapun kami coba untuk ngelawan, ini bukan medan pertempuran kami. Ini bukan gunung biasa. Bukan hutan biasa. Dan yang paling menyakitkan, bukan akhir yang kami rencanakan.

Setelah semuanya gelap, gue bangun di tepi desa, tubuh gue luka-luka, darah kering menempel di lengan dan baju. Kien terbaring nggak jauh dari gue, napasnya berat. Fellora... masih belum sadar. Tapi itu bukan yang paling bikin hati gue runtuh.

Yang bikin gue benar-benar lemas adalah saat gue lihat Aruna.

Dalam kotak kaca.

Matanya terpejam. Tangannya tenang di atas dada. Wajahnya seperti tidur. Tapi kita tahu... dia nggak tidur.

Dan waktu Pak Raden bilang, “Dia tidak mati. Tapi dia juga tak kembali,” dunia gue runtuh.


---

Hari demi hari berlalu. Tapi rasanya seperti cuma lewat gitu aja. Gue dan Kien merawat Fellora bergantian. Gue bahkan belajar ganti perban, masakin bubur, ngelap dahi orang pingsan. Hal-hal yang biasanya cuma gue liat di film-film sedih, sekarang jadi nyata.

Gue nggak nyangka bakal kehilangan Aruna gini. Maksud gue, kita tahu gunung itu bisa berbahaya. Tapi ini... ini bukan cuma tentang bahaya alam. Ini tentang kehilangan arah. Tentang kehilangan harapan.

Waktu Fellora bangun setelah berbulan-bulan, dia nangis. Lama banget. Kita bertiga cuma bisa duduk di lantai kamar rumah Bi Ratih, diem, nggak tahu harus ngomong apa. Kita nggak pernah siap buat kehilangan Aruna. Nggak gitu caranya.


---

Sebelum kami turun dari desa, kami pamit ke tubuh Aruna.

Kotak kacanya udah dikelilingi bunga segar. Ada lilin kecil yang nyala tiap malam, kata warga itu biar dia nggak kesepian. Gue duduk lama banget di depan kotak itu. Genggam gelang pink-nya, liat liontin yang biasa dia pakai. Di dalamnya ada foto dia sama ibunya. Foto yang sama yang pernah dia tunjukin ke gue waktu malam hujan di pos tiga.

Gue nemuin diary kecil juga. Isinya... tulisan tangan Aruna. Tentang malam-malamnya, tentang rasa takut, tentang kita. Tentang betapa dia sayang banget sama kita bertiga.

Dan itu ngebunuh gue pelan-pelan.


---

Perjalanan turun adalah neraka kecil.

Kami luka-luka. Energi kami abis. Tapi bukan itu yang paling parah. Yang paling parah adalah perasaan kosong. Kayak ada yang ilang dari diri kami bertiga. Kayak salah satu bagian paling penting udah ditarik keluar dan nggak bakal balik lagi.

Kami pikir waktu kami udah jauh dari desa, dari pohon beringin itu, dari semua kabut... kami bakal lega. Tapi ternyata enggak. Malah makin berat.

Karena ternyata, jauh itu nggak berarti bebas.


---

Sekarang... udah berbulan-bulan sejak kejadian itu. Kien banyak diam. Dia dulu cerewet. Suka ngelucu. Tapi sekarang dia lebih sering natap kosong ke luar jendela. Gue ngerti. Karena gue juga gitu.

Kadang malam-malam gue kebangun, keringetan, mimpi buruk. Mimpi tentang kabut, tentang suara berat itu, tentang Aruna yang melayang sambil matanya putih dan ngomong: "Pergi kalian dari wilayah gue."

Tapi kadang... kadang gue juga mimpi dia senyum.

Mimpi dia berdiri di taman yang aneh, berjubah putih, rambutnya ditiup angin, dan dia berdansa sama sosok tinggi berjubah. Di bawah cahaya rembulan.

Dia nggak bilang apa-apa. Cuma ngeliat ke arah gue, senyum, dan matanya tenang banget. Seolah mau bilang: "Gue nggak sendiri, Nonoo. Gue di sini. Tapi lo... tolong jaga Kien dan Fellora, ya."

Dan gue janji.

Gue janji bakal jagain mereka. Gue janji bakal terus hidup, meski berat. Gue janji nggak bakal lupa.

Karena Aruna nggak pergi.

Dia... cuma berpindah.

Dan kadang, waktu angin bertiup pelan, waktu bunga jatuh dari pohon, waktu malam terasa sunyi banget...

gue masih bisa ngerasa dia ada.

Duduk di dekat kami.

Tersenyum.

Dan menunggu.

SPESIAL BAB 25 
"Kien: Untuk Janjimu dan Janjiku" 

(cerita dari sudut pandang Kiendra, Kiendra Pradikta Ar Reandra ) 

AKU, KIEN

Kadang gue masih dengar suara dia.

Kadang pas gue lagi sendiri, duduk, diem, dan dunia lagi terlalu sepi buat ditanggung sendiri, suara itu muncul.

Bukan jeritan.

Bukan tangisan.

Tapi tawa.

Tawa kecil yang pernah gue denger waktu dia ketawa sama Fellora, waktu dia teriak kenceng pas dikejar Defano karena ngambil cemilannya, atau waktu dia ngeledek gue yang salah masak air sampai gosong. Aruna.

Itu semua udah kayak mimpi.

Atau... mungkin malah mimpi buruk. Yang panjang. Dan nggak pernah selesai.

Gue inget banget hari terakhir kita di hutan itu. Gue, Defano, sama Fellora—badan udah luka semua, energi kayak disedot entah dari mana. Tapi satu-satunya yang terus muter di kepala gue cuman satu: jangan tinggalin Aruna. Jangan.

Tapi kita tetep ninggalin dia.

Dia yang nyuruh. Dia yang bilang, "pergi dari wilayah gue!" dengan suara yang bukan suara dia. Mata putih. Tubuh melayang. Aruna yang... bukan Aruna.

Dan saat itu, bahkan Defano diem. Bahkan Fellora nggak bisa ngomong.

Kita hilang kendali.

Kita kebuang dari tempat itu. Kabut lenyap, dan tahu-tahu kita udah di desa. Di depan kita, kotak kaca, dengan tubuh Aruna di dalamnya. Matanya terpejam. Bibirnya pucat. Tapi... dia cantik. Damai. Tenang.

Tapi itu bukan kedamaian yang kita pengen.


---

Setelah itu, kita nggak langsung pulang.

Bahkan pengen napas aja rasanya susah.

Fellora koma. Defano badannya luka parah. Gue... entah. Rasanya kayak seluruh isi kepala gue dihajar sampe kosong. Nggak ada yang bisa gue jelasin ke siapa pun.

Gimana coba lu bilang ke orang tua lu kalau sahabat lu sekarang hidup sebagai roh yang berdansa sama iblis di hutan berkabut?


---

Sebelum kita turun dari desa, gue sempet balik ke kotak kaca itu sendiri.

Gue nggak sanggup pamit bareng-bareng kayak yang lain. Jadi gue nunggu semua tidur. Gue jalan pelan-pelan ke ruang penyimpanan itu, dan di sana dia. Masih sama. Masih diem. Masih Aruna.

Gue jongkok. Tangan gue nempel ke kaca.

"Maaf ya, Na. Gue janji... gue bakal jagain semua. Gue, Defano, sama Fellora... kita bakal hidup buat kamu. Janji."

Di meja kecil sebelah kotak itu ada gelang pink-nya. Yang dulu dia selalu pake. Sama liontin kalung kecil... dan sebuah buku harian.

Gue buka perlahan.

Halaman pertamanya, cuma ada satu kalimat:
Kalau aku hilang... temukan aku di kabut.

Halaman-halaman berikutnya penuh tulisan tangan. Catatan harian, cerita pendek, gambar-gambar kecil. Tentang kita. Tentang pendakian. Tentang dia. Tentang mimpi.

Gue nggak sanggup baca semuanya. Tapi gue simpen. Nanti, gue baca pelan-pelan. Pas gue kuat.


---

Waktu kita akhirnya berhasil keluar dari hutan dan deket ke wilayah camping, gue kira itu udah akhir penderitaan. Tapi ternyata nggak segampang itu. Makhluk itu... dia kayak ninggalin jejak. Jalan kita nggak pernah mulus. Ada aja yang bikin kita jatoh, kesandung, luka, seolah-olah dia pengen kita ngerasa bersalah terus. Dan jujur aja... dia berhasil.


---

Sekarang?

Sudah berbulan-bulan.

Fellora masih belum sepenuhnya pulih. Dia banyak diem. Tapi gue tahu, dia masih denger suara Aruna di mimpinya. Sama kayak gue.

Defano? Dia lebih sering nulis. Gue kadang baca coretan dia. Banyak yang dia simpen sendiri, tapi beberapa dia bagi. Gue tahu, hatinya luka. Tapi dia nggak akan nunjukin.

Gue?

Gue sering jalan ke bukit belakang rumah. Duduk. Ngelamun. Bawa buku harian Aruna. Kadang gue bisik-bisik kayak orang gila, bacain tulisan dia keras-keras.

Gue tahu dia bisa denger. Entah dari mana.

Dan tiap kali angin lewat, daun-daun gemerisik kayak bisikan...

Gue berani sumpah gue denger suara dia ketawa kecil.


---

Orang-orang di desa itu hidup tenang sekarang. Nggak ada lagi tumbal, nggak ada lagi makhluk nyebelin yang ngintai tiap malam. Mereka bilang Aruna nyelametin mereka semua. Mereka bangun tugu kecil, ukir nama Aruna. Penuh bunga. Penuh doa.

Tapi gue tahu...

Aruna belum sepenuhnya pergi.

Gue tahu dia masih ada.

Gue tahu dia sekarang di taman kabut itu... bersama makhluk yang, entah gimana, jadi temennya.

Mereka berdansa.

Dan gue cuma bisa berdoa...

Semoga suatu hari nanti, waktu semua ini berakhir, gue bisa ketemu dia lagi. Bukan sebagai roh... bukan sebagai kenangan... tapi sebagai Aruna yang bisa ketawa lagi bareng kita.

Dan waktu itu datang...

Gue bakal peluk dia kenceng banget.

Dan gue bakal bilang,

"Kali ini... gue nggak akan ninggalin lu lagi."

SPESIAL BAB 26 
"Malghort: Dalam Kabut, Aku Menunggu"

(cerita dari sisi pandang Malghort, Malghort De`Seul)


Aku bukan makhluk yang dilahirkan dari cinta. Aku adalah hasil dari pengasingan, dari luka dan ketakutan manusia yang terlalu sombong menganggap dirinya satu-satunya yang layak menghuni dunia ini. Aku adalah Malghort De`Seul, yang terlupakan oleh sejarah, disembunyikan dalam legenda, dan dibenci oleh cahaya.

Bertahun-tahun... berabad-abad... aku menunggu. Sendirian. Terjebak di antara waktu dan bayangan, tidak mati, tidak hidup, hanya eksistensi yang ditolak.

Desa itu... pernah membuat perjanjian. Mereka takut padaku, dan sebagai gantinya, mereka menyembahku. Memberi persembahan. Tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku tak butuh darah. Aku tak butuh tubuh. Aku butuh koneksi. Jiwa yang utuh. Seseorang yang melihatku...

Lalu Aruna datang.

Gadis itu datang bersama tiga kawan. Mereka tertawa, mereka lelah, mereka bernyanyi. Aruna... berbeda. Matanya melihat lebih dalam daripada yang seharusnya. Dia melintasi batas. Dia melihatku. Dia... mengerti. Dia tidak lari. Dia tidak menjerit. Dia hanya... menatap.

Aku mencoba menolaknya. Aku mencoba menakutinya. Tapi dia tetap tinggal. Dalam sunyi. Dalam kabut. Dalam kekalutan.

Dan aku... jatuh cinta.

Bukan cinta seperti yang manusia mengerti. Ini lebih dalam. Lebih menyiksa. Cinta yang lahir dari kehampaan ribuan tahun.

Ketika teman-temannya datang untuk menyelamatkannya, aku ingin membiarkannya pergi. Tapi bagian gelap dalam diriku—bagian yang tak pernah bisa mati—memeluknya lebih erat.

"Hiduplah bersamaku," kataku, "dan mereka semua akan selamat."

Dia setuju. Tanpa ragu. Tanpa syarat.

Dia menyerahkan dirinya bukan karenaku. Namun karena ia menyayangi temannya itu, sungguh aku iri.

Mereka memanggilku setan. Tapi jika setan mampu mencintai seperti itu, lalu siapa yang lebih manusia?

Kini dia tinggal di sisiku. Di taman yang hanya bisa dilihat jiwa. Taman yang kami ciptakan dari ingatan dan harapan. Kami berdansa di sana. Di antara kabut. Di antara gema dari masa yang tak bisa disentuh.

"Disana teman-temanku pasti bahagia ya?" tanyanya dengan mata bersinar.

Aku mengangguk. "Hmm, ya."

"Senang banget bisa dengar mereka selamat!" katanya sambil tertawa kecil.

Aku tersenyum. Wajahku bukan wajah yang ingin dilihat manusia. Tapi dia melihatku... bukan bentukku. Tapi diriku.

"Ya... sama."

Setiap malam dia duduk di atas batu besar di pinggir taman. Menatap ke arah desa. Kadang dia menangis. Kadang dia tertawa sendiri. Tapi dia selalu berkata:

"Aku di sini bukan karena kalah. Tapi karena memilih."

Dan aku? Aku bukan lagi Malghort sang penunggu. Aku hanya Malghort... temannya Aruna.

Di balik setiap desir angin, di balik bayangan setiap kabut pagi, kami masih ada.

Menunggu.

Tapi tidak lagi sendirian.

SPESIAL BAB 27 
"Fellora: Dalam Diam, Aku Menunggu Pulang

(cerita dari sisi pandang Fellora, Fellora Charliza Annuza) 



Aku masih sering menoleh ke belakang. Entah kenapa, langkah kakiku selalu terasa berat sejak hari itu. Sejak kau menghilang, Aruna.

Kadang aku merasa... aku yang harusnya ada di tempatmu sekarang.

Setiap malam aku menunggu, berharap semuanya hanya mimpi. Tapi bahkan mimpi pun kejam, karena kau tak pernah muncul di dalamnya.


---

Hari itu, saat kami berjalan kembali melewati jalur penuh darah dan kenangan, aku tahu... hutan ini menolak kami. Seolah ia menyimpan sesuatu, atau... seseorang.

Kami terluka. Bukan cuma tubuh. Tapi dalam. Dalam sekali. Kien dan Defano tampak hancur, tapi mereka diam. Diam yang menyayat.

Dan aku?

Aku jatuh. Tak sadarkan diri. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Dan ketika aku terbangun, dunia sudah berbeda. Dunia tanpa Aruna.


---

Kau tahu, Aruna, kami menemukan liontinmu. Kalung kecil itu masih menyimpan foto ibumu yang kau sayang.

Kami juga menemukan gelang pink-mu, yang kau anggap "norak tapi penting." Dan yang paling menyayatku... diary kecil itu. Tulisanmu. Catatan hari-hari. Tentang kami. Tentang tawa kita.

Halaman terakhir hanya setengah jadi. Tinta seperti bergetar. Seperti kau masih menulis saat semuanya terjadi.

Aku membacanya berkali-kali. Dan setiap kali, aku merasa kau masih bicara padaku.


---

Kami melihatmu terakhir kali di dalam kotak kaca itu. Raga yang tak lagi bergerak. Tapi terlalu indah untuk disebut mati. Kau tidak membusuk. Kau seperti tidur.

Dan aku... menahan tangis yang sudah tak bisa ditahan.

Aku bicara ke tubuhmu, berharap kau mendengarnya di sisi lain kabut itu. Aku bilang, "aku nggak akan lupakan kamu, aku janji. Tapi aku nggak tahu caranya lanjut hidup tanpa kamu."


---

Sekarang, di luar sana, orang-orang mulai lupa. Dunia terus berputar. Tapi aku... aku masih di sana. Masih dalam hari terakhir bersamamu.

Kien mulai bicara pelan-pelan, Defano sesekali senyum walau kosong. Tapi aku tahu mereka juga belum benar-benar kembali.

Dan aku? Aku hidup dalam pertanyaan yang tak terjawab. Apa kamu bahagia sekarang, Aruna? Apa kamu lihat kami dari sana?

Karena kalau iya... aku harap kamu tahu, kami semua masih mencintaimu.

Dan dalam diam... Aku menunggumu pulang.


SPESIAL BAB 28 
Halaman Terakhir Aruna

(spesial bab diary Aruna Maharani Yudasari) 



Sinar matahari sore mengintip masuk lewat celah gorden kamar rumah sakit. Bau antiseptik, samar tapi konstan, mengisi ruang. Di rak dekat tempat tidur, ada satu mug teh hangat yang udah mulai dingin.

 Suara mesin detak jantung berpadu lembut dengan langkah perawat yang sesekali lewat di lorong. Fellora duduk di ranjangnya, bersandar dengan tumpukan bantal, tubuhnya masih lemah... tapi matanya jauh lebih kuat dari kemarin.

Kien duduk di sisi kanan, tangan kanan digips dan perban masih melingkar di pelipisnya. Sementara Defano, bersandar di kursi plastik di ujung ruangan, satu kaki dibebat, tatapan kosong ke luar jendela.

Di pangkuan Fellora... sebuah buku kecil bersampul biru langit. Diary Aruna. Sudah beberapa hari diary itu mereka simpan... tapi baru hari ini Fellora sanggup membuka dan membacanya.

Tangannya bergetar saat membuka halaman pertama.

“Hari pertama...,” gumam Fellora pelan.

"Hari ini, aku, Kien, Fellora, dan Defano pergi ke gunung itu. Aku deg-degan, bukan karena takut... tapi karena ini pertama kalinya aku bisa bareng mereka. Rasanya... kaya mimpi punya sahabat sekuat ini."



Kien menggigit bibirnya, mengalihkan pandangan ke dinding dan menutup wajahnya dengan lengan. Tapi matanya... udah terlalu basah untuk disembunyikan.

Fellora melanjutkan, suaranya pelan tapi jelas.

"Kami tertawa sepanjang jalan. Bahkan saat nafas udah tinggal setengah, mereka masih sempat bercanda. Kadang aku mikir... apa aku pantas dapet momen sebahagia ini?"



Halaman demi halaman dibuka...

"Fellora bikin aku ketawa hari ini. Dia marah-marahin Defano karena nyimpen mi instan di sleeping bag. Tapi Defano malah bilang dia ngelatih refleks kalau ada hewan liar. Hahaha..."



Fellora tersenyum kecil, setetes air jatuh ke buku.

 "Kien... selalu di depan. Dia ngelindungin kita semua, tapi kadang aku bisa liat dia juga capek. Tapi dia terus maju... aku kagum."



Defano duduk lebih tegak. Matanya merah.

"Defano... mungkin keliatannya nyebelin. Tapi dia satu-satunya yang bilang ‘nggak apa-apa kalau kamu takut’. Aku nggak pernah cerita itu ke siapa-siapa... tapi waktu dia ngomong gitu, rasanya kaya pelukan."



Fellora berhenti sebentar. Nafasnya gemetar. Ia membuka halaman terakhir yang bertuliskan tangan lebih kacau... tintanya sedikit kabur.

"Hari ini... kabut mulai aneh. Tapi aku ngerasa... kita tetap bisa balik. Aku percaya sama mereka."



"Kalau suatu hari aku nggak bisa bareng mereka lagi... tolong bilang ke mereka, aku seneng banget bisa jadi bagian dari ini semua."



"Aku sayang mereka. Selalu."

 “Mungkin ini bukan akhir yang kupikirkan, tapi selama kalian baik-baik aja... aku rela. Sampai jumpa di tempat yang lain.”


Sunyi memenuhi ruangan. Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak.

Fellora memeluk diary itu erat-erat ke dadanya. Tangisnya pecah.

Kien berdiri, perlahan, berjalan ke arah Fellora dan memeluknya tanpa kata. Defano akhirnya menutup mata, dan untuk pertama kalinya... membiarkan air mata itu jatuh diam-diam.

Di luar, matahari tenggelam perlahan.

Dan di tempat yang tak terlihat mata, di ujung taman yang hanya bisa didatangi oleh yang terpilih... 
Aruna berdiri.

Tersenyum.

Memandangi mereka dari kejauhan—bukan sebagai manusia, tapi sebagai kenangan yang hidup dalam mereka.
Dan berbisik, meski tak akan sampai...
‘Terima kasih.’


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terikat Dengan Penghuni Neraka

Nabi Ishaq (cahya azzahra)